Monday, June 20, 2011

UWAK

Memiliki keponakan merupakan kebahagiaan tersendiri bagiku.  Betapa tidak, sebagai anak tertua yang masih single, kedua adik perempuanku mengaruniakan enam keponakan yang cantik-cantik dan ganteng-ganteng. Adikku yang pertama memiliki tiga anak laki-laki, sedangkan yang bontot ketiga anaknya perempuan. Urutan kelahiran mereka juga seperti urut kacang, yaitu laki-laki kemudian perempuan. Jadi kalau diurut dari yang paling sulung, yaitu Yoel, laki-laki paling sulung, kemudian Aubrey, perempuan paling sulung, lalu Lamberto, Scarlett, Joshua, dan si Bungsu, Vyoletta. Unik memang, seolah-olah kedua adikku memiliki kesepakatan untuk melahirkan anak seperti itu.

Karena kami tinggal berdekatan, maka semenjak mereka lahir  boleh dikatakan aku juga ambil bagian untuk ikut membantu merawat dan menyaksikan tumbuh-kembang mereka sampai saat ini. Bagiku, memiliki ponakan sama indahnya (dan sekaligus repotnya) seperti memiliki anak sendiri. Yang pasti aku sungguh sangat menyayangi mereka semua.

Tingkah pola keenam bocah yang kini sudah mulai menginjak remaja ini kadang membuatku senang, gemas dan sedih. Namun lebih banyak happy-nya. Mereka memanggilku "Uwak" yang artinya Inang Tua, atau Mamak Tua, bagi orang Batak. Pernah ada saudara yang protes agar aku dipanggil "Tante" saja karena masih muda. Tapi aku sih senang-senang saja dan menikmati menjadi "Mama Tua" bagi mereka.

Kalau keluarga besar kami berkumpul rumah seperti tidak muat menampung canda dan gelak tawa anak-anak ABG ini, bahkan jeritan. Mereka juga mendirikan klub yang dinamai dari singkatan nama mereka. Klub Yoel Nababan dan kedua adiknya bernama Yolajo, singkatan Yoel-Lamberto-Joshua. Sedangkan Klub Siagian Sisters diberi nama Auscavy, singkatan Aubrey-Scarlett-Vyol. Tidak jelas apa tujuan dari kedua klub tersebut, kecuali hanya untuk menunjukkan eksistensi dan persaingan merebut hati uwaknya. Ceile!

Walau terlihat seperti dua kubu yang berbeda, kalau berkumpul mereka sangat kompak. Mungkin karena umur yang berdekatan dan juga memiliki kegemaran yang sama. Topik pembicaraan mereka bisa tentang game online terbaru, update isi facebook atau sekedar mentertawakan salah satu cerita. Dan yang lucu mereka juga suka mengobrolkan diriku. Biasanya adalah pengalaman keseharian mereka denganku. Memang, selain memanjakan mereka, aku juga cukup bersikap disiplin dan tegas. Jadi,aku tidak segan-segan untuk menegur atau memarahi mereka kalau nakal. Ternyata hal itu bisa menjadi topik yang cukup hot mereka perbincangkan. Misalnya, pernah aku pasang kuping mendengar mereka ngerumpi begini, "Iya takut kalau uwak marah..". Yang lain kemudian menambahkan, "Mata uwak kalau melotot seram..." Tapi, untuk "mengamankan posisi" dari hal-hal yang tidak diinginkan, mereka tentunya sambil berbisik-bisik membicarakannya...

Sebagai uwak aku juga harus bersikap adil. Jadi kalau yang satu aku manjakan, yang lain juga harus mendapat jatah yang sama. Kalau tidak mereka tanpa ragu akan mengeluarkan protes, persis seperti LSM. Contohnya begini: Yoel adalah keponakanku yang paling sulung. Ketika Ia lulus Sekolah Dasar, aku dengan senang hati mengajaknya pergi berlibur ke Bali. Ketika kelima adiknya mendengar berita ini, mereka merajuk minta diajak ikut serta. Namun, karena masalah anggaran yang mepet, dan bagaimana juga membawa enam bocah berlibur ke  Bali tanpa orang tua mereka, akhirnya aku menjanjikan bahwa ketika mereka lulus SD mereka juga akan memperoleh hadiah yang mirip-mirip seperti itu. Ternyata janji uwaknya ini mereka catat dalam memori di otak mereka. Benar saja, ketika Aubrey lulus SD setahun kemudian, ia menuntut untuk pergi jalan-jalan. Lalu seperti janjian, Lamberto, Scarlett, dan Joshua juga menuntut hadiah yang sama. Namun, tuntutan mereka dapat dengan mudah di-"netralisir", sehingga tidak perlu ke Bali, cukup jalan-jalan ke Dunia Fantasi sudah membuat mereka senang.What good kids they are...

Sebagai perempuan single membawa pergi salah satu keponakanku bisa menjadi tameng diriku dari godaan pria iseng atau bahkan tatapan curiga orang lain. Pernah suatu waktu aku membawa Yoel berbelanja ke salah satu supermarket. Waktu itu usianya baru 7 tahun (kini hampir 18 tahun). Di salah satu sudut toko aku berpapasan dengan seorang laki-laki paruh baya. Pertama-tama si Bapak memandangi diriku yang lagi asyik memperhatikan label makanan di rak display. Kemudian ia mencoba menyapaku. Waktu ia melihat Yoel berdiri disampingku, si Oom genit ini bertanya, "Sama siapa?". Merasa terganggu aku lalu menggengam tangan kecil Yoel, lalu menjawab, "Anak saya...", lalu menuntunnya pergi dari lorong itu. Sambil mengikuti langkahku, Yoel sejenak memandang wajahku, lalu melontarkan pertanyaan lugu, "Kok Anak, Uwak...?" Oalah, ini bocah polos banget.

Lain lagi kalau membawa yang perempuan jalan-jalan. Maunya dibelikan apa yang diminta. Memang yang diminta bukan barang yang membutuhkan anggaran banyak, tapi tetap saja perlu direncanakan anggarannya. Misalnya ketika Scarlett meminta untuk dibelikan CD penyanyi kesayangannya, ia memborong beberapa MP3. Wah senangnya dia. Apalagi ketika aku juga membelikan dia majalah remaja langganannya, wajahnya makin bersinar-sinar. Komentarnya singkat, "Ihk..ihk, enak jalan-jalan sama uwak. Dibeliin CD banyak dan majalah.." sambil tertawa puas.Wah ini satu pujian yang menyenangkan, secara anak ini jarang meminta dan menunjukkan emosi senangnya.

Kalau Lamberto lebih senang menunjukkan ke-"narsis"-annya. Ia yang paling rajin update facebook (temannya hampir 1000 orang), yang paling berani pacaran (sudah dua kali putus), belajar merokok (cuma untuk tahu rasa rokok, katanya), dan naksir guru kursusnya. Anak gaul memang... Sedangkan Aubrey lebih senang menyibukkan diri dengan berbagai kursus dan main musik serta ekskul di sekolahnya. Dari kecil ia memang sedikit tomboy, maunya memanjat pagar, main loncat-loncatan dsb. Namun kini ia telah menjelma menjadi gadis remaja yang cantik.

BOTAK

Setiap orang pasti memiliki daftar keinginan pada saat merayakan hari jadinya. Ada yang ingin segera memiliki pendamping hidup. Ada yang ingin memiliki kendaraan. Atau keinginan untuk dapat bepergian ke luar negeri. Aku sendiri memiliki keinginan yang berbeda-beda setiap tahunnya.

Tahun lalu, untuk ulang tahunku yang ke-44, Aku ingin sekali merayakannya di bawah menara Eiffel di Paris, Perancis. Dan puji syukur, Tuhan mengabulkan doa dan keinginan tersebut. Sungguh luar biasa menyaksikan indahnya menara Eiffel dan romantisnya kota Paris waktu itu. Walau hanya ditemani sepotong tart kecil yang kubeli di    dan jauh dari sanak-keluarga, namun perayaan itu menjadi ulang tahun yang tidak akan mungkin terlupakan seumur hidupku. Dan tahun ini untuk merayakan ulang tahunku yang ke-45 Aku ingin sekali untuk mencukur gundul rambut!

Sebenarnya keinginan ini sudah lama sekali aku cita-citakan, mungkin sekitar lima tahun yang lalu. Namun ternyata pergi ke Paris lebih mudah bagiku dibandingkan untuk memiliki kepala botak. Selain butuh keberanian ekstra untuk tampil beda, ternyata aku tetap bergantung pada dukungan sanak-keluarga dan teman-temanku dan pendapat mereka. Dua tahun yang lalu saat aku melontarkan ide "gila" ini kepada keluarga, keponakan, dan teman-temanku, mayoritas "responden" menyatakan "Tidak Setuju". Mereka bahkan menertawai ide yang dianggap konyol ini.

Entah kenapa Aku ingin sekali memplontosi rambutku. Aku hanya bisa membayangkan betapa nantinya kepala ini bakal lebih sejuk dan lebih mudah merawatnya. Aku memiliki rambut yang ikal dan sedikit keriting, dan walau kelihatan mengembang, namun tipis. Rambut tersebut membuat penampilanku sedikit kurang profesional, sehingga untuk membuatnya lebih rapih, aku harus rajin ke salon untuk menyatok atau menge-blow. Selain itu rambutku ini sedikit kurang sehat, karena gampang rontok, belum lagi karena faktor usia, disana-sini juga sudah mulai tumbuh uban. Cukup memprihatinkan bukan!?

Namun hasrat tersebut ternyata kembali bersemi di dalam otakku. Beberapa hari yang lalu ide kepala gundul ini aku lontarkan kembali kepada keponakanku yang paling sulung, Yoel. Sebagai laki-laki remaja yang mulai menginjak dewasa, pendapatnya patut menjadi pertimbanganku. Jadi saat ia mampir ke rumah siang itu aku manfaatkan kesempatan itu. "Bang, gimana kalau uwak gunduli rambut??," tanyaku perlahan sambil memperhatikan reaksinya. Si Ganteng yang bercita-cita menjadi perwira Angkatan Bersenjata ini langsung tertawa kecil. Seperti biasa Ia terlalu sopan untuk langsung memberikan tanggapan frontal. Karena tidak memperoleh jawaban yang lugas, akhirnya aku memberikan kesimpulan untuk ia jawab, "Nggak setuju ya?!". Yoel menganggukkan kepalanya sambil terus memperlihatkan senyuman geli.

Aku mencoba cari dukungan yang lain. Kali ini temanku Esly yang kutodong untuk memberikan pendapatnya. Sebelumnya ia juga termasuk responden yang tidak setuju dengan ide tersebut. "Say, kalau gue botakin kepala, gimana?," lontarku. Kali ini reaksinya lebih hati-hati. Sambil memperhatikan raut wajahku, ia bertanya balik, "Kenapa masih kepengen botak?." Aku tidak langsung menjawab. Sahabatku ini seumuran denganku, namun karena bentuk tubuhnya yang kecil mungil, ia kelihatan jauh lebih muda dari usianya. Ia memberikan analisa lanjut, "Rambutnya enggak apa-apa kok, ubannya juga belum banyak..." Alamak, uban mah hanya sebagian kecil masalah kepalaku, Jeng!

Hari ini adalah hari terakhir buat aku untuk memutuskan apakah besok aku menjadikan keinginanku menjadi kenyataan. Sekali lagi aku belum merasa pede terutama ketika membayangkan reaksi tetanggaku dengan penampilan baruku. Dan mungkin karena aku juga belum siap untuk menerima kalau-kalau setelah botak, rambutku tidak bakal tumbuh kembali. Ternyata butuh keberanian untuk cuwek dan tidak peduli dengan reaksi dan tanggapan orang untuk tampil beda. Satu hal yang belum kumiliki saat ini.