Friday, July 26, 2013

BOTAK... AKHIRNYA

Setelah setahun menuliskan renunganku tentang keinginan berkepala plontos (baca: BOTAK), akhirnya dua minggu lalu, tepatnya Minggu 14 Juli 2012 yang lalu aku resmi memiliki kepala baru, eh salah, maksudnya kepala tanpa rambut keritingku yang biasa kubiarkan terurai. Betul-betul ini suatu keberanian untuk membuat keputusan yang paling dasyat dalam sejarah hidupku... 

Keberanian ini sebetulnya datang melalui suatu pengalaman yang lebih dasyat lagi yang membuat berkepala botak seolah-olah tampak ringan, bukan suatu hal yang luar biasa seperti selama lima tahun ini bolak-bolak kupikirkan. Bagaimana itu bisa terjadi? Ya, kalau aku merenungkan lagi pengalamanku ketika berhadapan dengan Maut di Laut Flores akhir Juni lalu (baca: MALAIKAT MAUT DI LAUTAN), itulah anugerah keberanian paling dasyat yang pernah diberikan Tuhan kepada diriku. Setelah aku dimampukan untuk melalui peristiwa itu, maka seolah-olah bagiku saat ini apa pun (yup, apa pun) tidak ada lagi yang mampu memberiku rasa takut atau kuatir. Aku akan mampu melaluinya...

Beberapa hari sebelum Minggu bersejarah itu, aku memandang wajahku di cermin bulat yang ada di dinding kamarku. Lalu aku memperhatikan rambut keriting warisan almarhum mamaku tercinta yang terurai panjang hingga melewati bahu. Walau warnanya masih hitam, namun di sana sini sudah tampak rambut putih alias uban menjadi penghias. Memang tidak bisa dipungkiri waktu membuktikan bahwa setiap orang pasti akan mengalami yang namanya AGING atau penuaan. Selain uban, rambut ini juga mengalami kerontokan. Tiada hari tanpa rambut rontok tiap kali menyisir. Volumenya juga kurang, walau keliatan mengembang, karena tiap helainya tipis; terlihat sekali setiap kali selesai keramas. Kadang-kadang ketombean, terutama kalau lewat tiga hari tidak mencuci rambut. Jadi, sempurnalah sudah ketidaksempurnaan mahkotaku. Keriting, ubanan, rontok, tipis, ketombean...

Sehabis perjalanan panjang mengelilingi Sulawesi dimana di beberapa tempat aku berkesempatan untuk menikmati air lautnya, rambutku keliatan tambah "loyo" karena tidak diberikan perawatan yang semestinya.Warna hitamnya agak sedikit memudar, bahkan agak sedikit memerah karena terik sinar matahari... Sedih deh melihatnya. Sambil memandangi rambutku itu, aku pun teringat kembali tentang keinginan memiliki kepala tanpa rambut. Apakah ini saat yang tepat?

Aku merenung dalam-dalam, flashback ke hari-hari yang telah lampau, dan deg, ingatan pengalaman di tengah laut itu langsung memenuhi mataku. Entah darimana, tiba-tiba datang dorongan yang maha dasyat yang membuat hatiku langsung bulat: Yes, aku harus melakukannya... Keraguanku sirna diganti dengan semangat yang membuncah. Aku lalu menaikkan ucapan syukur dan permohonan kepada Yang Maha Dasyat agar memuluskan langkah besarku ini. Ada sedikit rasa berdosa karena seolah ingin membuang berkat rambut yang sudah IA anugerahkan. Namun, nyuss, hatiku dimantapkanNya. Seolah ada bisikan, rambutmu akan tumbuh lagi... Dan berbeda dengan sebelumnya, aku bahkan tidak mempertimbangkan untuk meminta opini siapa pun atau sekedar memberi info pendahuluan. Biarlah ini menjadi kejutan buat mereka.

Tentunya aku pun kepingin rambutku nanti akan tumbuh lebih baik dan lebih sehat, kalau perlu keritingnya juga menghilang... Aku lalu memikirkan bagaimana caranya agar hal ini bisa terwujud. Aha, perlu minyak rambut atau hair lotion yang tokcer nih. Tapi dimana mencarinya? Aku lalu ingat toko obat cina di dekat pompa bensin. Oke, harus survei kesana (tapi si Koh bilang cuma ada ginseng rambut, dan aku memutuskan cari yang lain). Aku juga memikirkan bagaimana aku harus memperlihatkan penampilanku nanti, terutama di depan tetangga-tetanggaku. Aku ragu kalau mereka siap menerima kehadiran "the new me". Aku tidak mau ambil resiko "menjadi bahan belalak mata" dan memutuskan sementara waktu untuk tetap menutupi kepalaku. Selesai dengan semua pemikiran tersebut, kini tinggal menentukan kapan hari yang tepat untuk melaksanakannya. Kalau hari biasa akan lebih banyak kujumpai orang-orang yang kukenal, sehingga weekend kurasa lebih tepat. Sip deh...

Sabtu pagi kembali kupandangi cermin. Baru saja aku selesai menyapu dan membersihkan lantai rumah. Dan seperti biasa rambut rontok berserakan dimana-mana. Aku juga sudah mensurvei tempat cukur rambut (barber shop) di dekat rumah yang paling ramai dikunjungi. Namanya Bandung Barber Shop (BBS). Mungkin pemiliknya orang Bandung atau karena Bandung kota yang ramai dikunjungi. Harapanku karena tukang cukurnya profesional membuat potongan rambut yang sesuai keinginan pelanggan. Aku pun memutuskan hari Minggu besok adalah hari eksekusi, hari bersejarah, Hari H, D-day.

Minggu siang aku kembali berdiri di depan cermin ajaibku (cermin, cermin di dinding, siapa yang paling cantik?). Perlahan kubelai rambut keriting panjangku seolah mengisyaratkan belaian perpisahan. Batinku berkata, "Sudah 47 tahun kau menemaniku, terima kasih. Kini saatnya aku berpisah dengan lama-mu untuk bertemu dengan baru-mu..." Lalu kuambil kamera digital, dan membuat beberapa foto dengan obyek utama wajahku dengan rambut terurai, dari arah depan, kepala atas dan sisi kanan/kiri.

Pukul 4 sore aku bersiap-siap. Di depan cermin aku berdoa agar langkahku kembali dimantapkan, kemudian melangkah keluar rumah. Sore itu Mama Ratri sedang berada di luar rumah sambil menggendong cucunya, disampingnya berdiri salah seorang putrinya menemani. Selesai saling menyapa aku pun bergegas menuju ke BBS yang terletak di jalan utama perumahan kami. Dari seberang jalan kulihat di dalam sedang ada seorang pelanggan. Kubatalkan melangkah masuk ke dalam, dan kemudian menuju barber shop lain yang ada di ujung kanan jalan. Wah selain ada pengunjung, di depannya tampak beberapa orang sedang berdiri. Wadow, belum pede juga nih nanti melihat tatapan takjub dari mereka. (Catatan: pelanggan barber shop alias tukang cukur biasanya kaum pria, jadi pasti aneh kalau lihat wanita dewasa masuk ke dalam, mau cukur rambut pula bah...). 

Akhirnya aku bergegas menuju ke Plaza Cibubur dan menaiki lift ke lantai 3. Di sana aku window-shopping beberapa salon yang letaknya saling bertetangga. Wah ternyata semua salon itu dipadati pengunjung. Aku juga kurang yakin apakah mereka memiliki peralatan cukur rambut yang tepat. Namun, sebetulnya aku memang kurang pede dengan tantangan "melihat tatapan takjub". :-( Akhirnya aku masuk ke toko "segala macam Rp" dan membeli sebuah topi kupluk yang cocok.

Hari sudah semakin sore, tidak beberapa lagi waktu buka puasa. Aku kembali balik ke perumahan dan dengan mantap melangkahkan kaki menuju BBS. Hore, ternyata sudah sepi, tidak ada seorang pun berada di dalam ruangan kecil itu. Di depan pintu aku memanggil-manggil sang pemilik. Tak berapa lama muncul seorang pria muda yang ternyata merupakan sang Barber. Aku pun mengutarakan maksudku kepadanya. Wajahnya terlihat sedikit takjub mendengarnya, namun tanpa banyak kata ia mempersilahkan aku duduk di salah satu kursi kulit hitam yang menghadap langsung ke cermin panjang yang ditempel di sepanjang dinding. Pundakku lalu ditutupi sehelai kain. Sambil mempersiapkan peralatannya ia bertanya, "Mau sampai semana, Bu, plontosnya...?" Aku lalu memperhatikan sebuah poster yang ada di salah satu dinding yang berisikan beberapa foto model rambut pria. Aku bertanya, "Kalau botak abis, gimana...?" Ia menjawab, "Mendingan disisain setengah cm aja, Bu, jangan plontos benaran..." Niat awalku sebetulnya betul-betul tanpa rambut sedikit pun, tapi setelah mendengar sarannya aku pun mengiyakan.

Ia pun berdiri di belakangku, sebuah alat pencukur sudah ditangannya. Aku memperhatikan rambutku untuk terakhir kali, dan  sregggg, sreggg, sang Barber mulai menggerakkan tangan ajaibnya ke atas kepalaku, dan tiba-tiba kulit kepalaku sedikit demi sedikit mulai terlihat. Oh my God... Potongan demi potongan rambut hitamku jatuh ke lantai di bawah kursi. Dengan tenang, walau hati campur aduk, aku memperhatikan sebuah maha karya sedang dikerjakan... :-)) Kulit kepala bagian belakang kini mulai terlihat dari pantulan cermin di belakangku. Tiba-tiba masuklah seorang anak laki-laki dengan Ibunya dan langsung duduk di kursi tepat di belakangku. Melalui cermin bisa kulihat wajah si Ibu sedikit tersenyum memandang kursi di depannya. Kami pun lalu bertukar kata mengenai rambutku itu.

Tak butuh waktu lama untuk aku bertemu The New Me. Dengan tanpa helaian rambut, kepala bulat kecilku terasa ringan dan tampak lebih segar, dan wajahku terlihat lebih muda beberapa tahun. Sang  Barber masih asyik merapikan kepalaku, dan akhirnya beres sudah...Aku pun tersenyum lebar kepada diriku melalui cermin. Setelah membayar biaya pelayanan, kupakai topi yang tadi kubeli dan kemudian keluar dari ruangan bersejarah itu. Di kursi luar seorang pria muda juga sudah menunggu untuk dilayani. Dia merupakan orang ke-4 yang menyaksikan peristiwa langka sore itu, selain si Tukang Cukur, Ibu dan Anaknya. Aku pun bergegas menuju ke arah rumah. Sepanjang jalan tidak kutemui satu orang pun, namun setiba di depan rumah kulihat putri tetanggaku masih berdiri di depan rumahnya. Dari wajahnya terlihat tatapan heran, mungkin karena melihat aku memakai topi yang menutup seluruh kepalaku, tapi terutama karena ia melontarkan pertanyaan, "Dari mana Tante...?" yang kujawab dengan, "... dari depan.." Apakah ia merupakan saksi ke-5? Bisa iya, bisa juga tidak. Tapi aku sudah memutuskan untuk tidak banyak bercerita, kecuali terpaksa atau dipaksa. Hehehehe....

Di dalam rumah aku kembali menghampiri cermin dan memandang takjub bentuk wajahku. Tak puas-puasnya kuperhatikan dari segala arah: depan, belakang, kanan, kiri, atas. Dan kembali kuambil beberapa foto untuk mendokumentasikannya. Setelah puas memandang kloning kepala Demi Moore dalam film G Jane, aku lalu mandi. Air yang jatuh dan mengalir di atas kulit kepalaku rasanya lebih dingin. Ahhh, segarnya... (Untuk perawatan aku menggunakan shampoo bayi yang lebih lembut. Sedangkan air rendaman kacang hijau kuoleskan beberapa kali seminggu tiap pagi untuk membuat rambut cepat tumbuh. Selain itu mulai tgl 26 Juli aku juga mengoleskan hair lotion dari merek yang sama dengan shampoo bayi).

Malamnya aku mengirimkan SMS kepada dua sahabatku, Artha dan Esly:

"hai say, met hari minggu ya. cuma mau ksh kabar, setelah bolak/lik berpikir selama 5thn ini akhirnya aku telah melaksanakan salah satu mimpi besarku hari ini... apakah itu??? :-))

Keduanya tidak mampu menebak. Bahkan sekali pun aku mengirimkan tambahan clue melalui SMS:

"nih say gw ksh tambahan kata kuncinya: ringan, segar, lebih muda, hemat, ala david beckham... ayoooo?? hehehehe"

Hingga tulisan ini dibuat baru Artha yang mengetahuinya, itu pun setelah bertemu langsung dengan diriku. Namun ia pun belum seutuhnya melihat The New Me karena pada saat itu aku menggunakan wig. (Ketika saat itu kutantang, ia malah menjerit, "Ga ahhhh, ga kuat gue..."). Hehehehe, lucunya ibu itu....


Ditulis tgl. 26 Juli 2013.

Monday, July 8, 2013

MALAIKAT MAUT DI LAUTAN

Gelombang tinggi terus menghantam lambung kapal. Kapal kayu itu sudah seperti mainan anak-anak, tak berdaya menentang kerasnya hantaman ombak dari seluruh sisinya. Penumpang wanita mulai bersahut-sahutan memanggil nama Yang Maha Kuasa. Anak-anak yang lebih kecil saling kompak bergiliran muntah di setiap sudut kapal. Aku sendiri sudah tidak mampu berpikir apa-apa. Otak terasa beku, dan tubuh sudah tidak memiliki tenaganya. Mataku hanya mampu menatap ombak tinggi yang terus menerjang kapal kami dari lubang jendela yang terbuka. Dari mulutku hanya mampu keluar doa lirih, "Tolong kami Tuhan, tolong kami Tuhan...."

Ini pengalaman terhebatku menjelang hari-hari terakhir travelling mengelilingi Sulawesi. Maut terasa begitu dekat, dan hawa yang dihembuskannya begitu dingin menusuk hingga ke sumsum tulang. Tiada yang menyangka, bahkan bagi beberapa pelaut senior yang menjadi penumpang saat itu, bahwa rintik hujan dan angin kecil yang semenjak pagi mengiringi keberangkatan kapal dari pelabuhan Usuku di ujung Pulau Tomia akan berbalik menjadi badai dasyat di tengah perjalanan. Prraaakkkk, kembali gelombang tinggi menabrak tubuh kapal. Tas, kardus, bungkusan, dan segala macam barang yang tersusun di lantai kayu jatuh porak-poranda. Beberapa Ibu kembali menjerit menyebut asma Allah. Beberapa bapak mulai sibuk memakaikan baju pelampung pada anak-anaknya. Suasana kian mencekam. Malaikat maut seolah ingin memperlihatkan kekuasaannya. Hanya dengan meniup angin lebih kencang kapal kami pasti terbalik ke Laut Flores yang maha dalam.

Aku sudah memuntahkan seluruh isi perutku semenjak sejam yang lalu, pada saat kapal mulai bergoyang-goyang dicium ombak yang pelan-pelan berubah menjadi gelombang keras. Di atas matras coklat (tempat tidur karet) di dek atas sebelah kanan aku hanya bisa tergolek lemas membaringkan diri. Kepala mau pecah karena pusing. Mata terpaksa dipejamkan untuk menghalau rasa pusing dan mual. Dari otak dan hatiku hanya bisa menggaungkan doa Bapak Kami, dan memohon pertolongan Yang Di Atas. Berpuluh, bahkan mungkin ratusan doa yang sama terus kugaungkan, mungkin sudah seperti dari bawah sadarku.

Lalu, braaaakkkkk, hempasan gelombang lebih dasyat membantingkan badan kapal. Mataku langsung terbuka, namun tubuh tak mampu bangkit karena kerasnya goyangan. Kulihat air laut melompat masuk dari lobang jendela. Beberapa anak menjerit sambil menangis kencang. Ayah mereka sibuk menenangkan dengan suara lemah. Dua bapak dengan susah payah mengangkat pintu kayu untuk menutup lubang jendela. Dan pada saat itu bayangan kematian bermain di mataku. Inikah jalanNya? Inikah saatnya aku bakal bertemu dengan Penciptaku? Dengan mata batinku kubayangkan seandainya kapal ini terbalik, dari sisi jendela manakah aku akan terlempar ke dalam lautan yang sedang meraung-raung. Apakah pelampung oranye yang kupakai akan menjadi alat bagiNya untuk menolongku? Apakah aku akan mampu timbul ke permukaan air, ataukah tubuhku akan kian terseret arus dasyat yang membawaku makin dalam masuk ke tubuh laut? Bagaimanakah rasanya ketika aku sudah tidak bisa mengisap udara dan asinnya air terus masuk melalui hidung dan mulutku, apakah aku akan merasakan paru-paruku tersedak dan kemudian meledak? Ataukah aku akan jatuh pingsan seiring dengan nyawaku melayang pelan-pelan dari tubuhku? Apakah jasadku bakal ditemukan atau hilang lenyap di dasar lautan? Bagaimanakah adik-adikku, keluargaku, saudara-saudaraku dan teman-temanku akan menerima berita ini? 

Batinku terus berpikir, raga duniaku menjerit ketakutan, namun anehnya jiwaku terasa damai. Kalau memang saat inilah WAKTU bagiku, aku sudah siap Tuhan. Kuserahkan Tubuh, Jiwa dan Rohku ke dalam tangan pengasihanMU. Pengharapan inilah yang membuat jiwaku tenang. 

Hari itu adalah Minggu 30 Juni 2013 saat aku dalam perjalanan menuju Pelabuhan Murhum, Bau-bau di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara yang berjarak kuranglebih 10 jam perjalanan dengan kapal.. Kapal kayu KM Wisata Bahari mengangkut kurang lebih 100 penumpang berangkat dari Pelabuhan Usuku, Pulau Tomia, pulau ketiga terbesar di kepulauan Wakatobi pukul 08.00 WIT. Karena cuaca dan air laut yang sedang surut, kapal terpaksa berlabuh di tengah laut di dekat Pulau Lamanggau untuk menaikkan penumpang. Dengan perahu pong-pong (sejenis perahu kayu bermesin kecil) para penumpang satu persatu diangkut mendekati kapal dan dengan gagah berani melompat masuk melalui lobang jendela berukuran satu kali satu meter. Tua muda, dewasa anak-anak, pria wanita, mereka adalah para pemberani. Masyarakat yang hidup di pulau-pulau ini memang tidak memiliki alternatif angkutan selain dengan kapal yang kebanyakan merupakan kapal-kapal kayu buatan Makassar.

Pukul 10.00 WIT kapal akhirnya menaikkan jangkar dan berlayar dengan iringan hujan deras. Diperkirakan paling lambat pukul 20.00 WIT kapal akan tiba di Bau-bau. Seluruh tempat tidur karet yang tersusun di lantai kayu di dek atas dan bawah sudah ditempati pemiliknya. Sedangkan di dapur yang berada di bagian buritan (belakang kapal), beberapa ABK sibuk mempersiapkan makan siang. Puluhan kilo ikan gembung sudah dibersihkan dan menunggu giliran untuk digoreng. Sayur sop sedang menunggu mendidih, sedang nasi sudah selesai dimasak didalam panci-panci berukuran besar. Sambil menunggu waktu makan siang, sebagian penumpang membaringkan tubuh, sedang yang lain asyik mengobrol. Seorang Nenek sibuk menenangkan tangisan cucunya, sedangkan Ibu si Bayi malah asyik tertidur. Walau hujan, namun langit terlihat cerah, mentari masih memberikan sebagian sinarnya. Benar-benar perjalanan yang menyenangkan apabila cuaca bisa terus seperti ini. 

Pukul 11.30 WIT piring-piring plastik mulai disusun di sebuah meja sudut. Satu per satu menu mulai dihidangkan. Karena tadi pagi hanya makan dua potong pisang goreng, perutku sudah terasa lapar. Tanpa sungkan lagi aku menjadi 10 orang pertama yang antri menyendok nasi dan teman-temannya. Walau sederhana, namun masakan ala ABK kapal ini lumayan enak. Tak heran sebentar saja langsung ludes diserbu. Namun hidangan yang dimasak sudah dihitung porsinya sehingga tidak ada penumpang yang tidak kebagian. Good job...

Aku menikmati makan siangku sambil berdiri di bibir jendela kapal sambil menikmati lautan biru yang maha luas. Beberapa burung camar terbang berputar-putar di atas air mencari makan siangnya. Laut sedikit bergelombang, namun kapal berlayar tenang. Selesai makan aku kembali ke atas matrasku. Tak berapa lama aku mengikuti jejak penumpang lainnya: berbaring santai menikmati tidur siang. Sebentar saja aku sudah pulas tertidur.

Tidur siangku yang nikmat itu terhenti satu jam kemudian, ketika kapal mulai keras bergoyang-goyang. Aku lalu duduk terbangun dan melihat lautan yang tadinya tenang mulai terlihat menari-nari. Angin kencang menghembuskan tinggi gelombang dan mulai mendekati bawah jendela yang sengaja dibuka sebagai ventilasi ruangan. Hujan semakin deras dan langit menghitam. Kapal berayun naik turun tak berdaya. Pelan-pelan goyangan ini mengocok perutku. Aku mulai merasa pusing dan mual. Tak berapa lama aku menyerah, lalu dengan bersusah payah turun ke lantai kapal, dan dengan tertatih-tatih menuju belakang kapal. Di lobang WC kamar mandi dua pintu yang terletak di depan dapur  aku memuntahkan makan siangku. Setelah mual sedikit mereda, kembali dengan bersusah payah aku balik naik ke tempat tidur. Namun ombak kian bergelombang hebat, dan kapal makin tidak karuan goyangannya. Perut semakin dikocok-kocok. Beberapa menit kemudian, aku kembali berjuang berjalan ke kamar mandi untuk memuntahkan isi perutku. Kali ini yang keluar tinggal air berasa sedikit asam. Tubuhku sudah semakin lemas. Sebetulnya karena situasi bisa saja aku ber"hoek-hoek" melalui lobang jendela yang jaraknya lebih dekat, namun aku masih merasa perlu untuk menjaga mental penumpang lain. Malu juga kalau harus muntah diliatin puluhan mata... Sampai tiga kali aku harus berjuang bolak-balik ke belakang sebelum akhirnya menyerah dan tergolek lemas. Untuk minum air putih saja aku sudah tidak berani, takut nanti muntah lagi, apalagi untuk makan.

Semakin siang gelombang semakin menggila. Dan, badai yang sebenarnya akhirnya datang menyerang. Ditengah bunyi angin dan hempasan gelombang tinggi, gaung suara mesin kapal habis ditelan. Suaranya pelan-pelan menghilang. Ternyata mesin kapal rusak... Pada hantaman gelombang besar pertama, seluruh penumpang mulai waspada. Pada hantaman kedua, terdengar bunyi berbagai barang yang jatuh dengan suara keras. Anak-anak mulai berteriak ketakutan. Para ayah mulai mengambil pelampung yang disimpan dibeberapa celah di plafon dan memakaikannya pada anak-anaknya. Seorang Bapak bertubuh tambun berjalan dilorong dek sambil memberikan kata-kata menenangkan. Seorang pelaut senior yang tergolek di kiriku menenangkanku. Gelombang lebih besar kembali menghantam dan kapal oleng ke kiri. Si Bapak tambun tanpa berkata-kata lagi langsung memakai pelampungnya. Dan aku terdiam melongo ketakutan...





Makin sore kapal makin tak berdaya diombang-ambingkan dasyatnya ombak. Hantaman gelombang seperti tiupan malaikat elmaut. Diluar hanya gelap gulita yang terlihat. Ajaibnya, beberapa penumpang terutama yang berada di dek bawah malah tetap serius memejamkan matanya. Entah ketiduran, entah pasrah dengan nasibnya. Sungguh rasanya hidup dan mati benar-benar terserah kehendakNya. Lalu, tiba-tiba mesin kapal berhenti berputar dan mati, dan seluruh ruangan langsung gelap gulita. Inilah saat-saat yang paling menggelisahkan bagiku. Karena perasaan kematian terasa mendekat.

Tanpa bantuan kekuatan mesin untuk menerjang ombak, kapal seperti perahu kertas. Ibu-ibu mulai menangis dan berteriak berdoa. Semua orang terlihat pasrah, dan bersiap-siap menyongsong yang terburuk. Satu jam tanpa mesin, bantuan akhirnya diberikan oleh sebuah kapal kayu lain yang juga sedang menuju Bau-bau. Dengan penerangan senter, para ABK mengisi bahan bakar, dan memperbaiki mesin kapal. Lima jam terombang-ambing di tengah laut Flores akhirnya Tuhan memberikan kami kesempatan untuk hidup kembali. Mesin kapal akhirnya dapat diperbaiki, dan suara nyaringnya melegakan. Makin malam gelombang perlahan mulai mereda. Dan pada saat kami melihat lampu-lampu di daratan Bau-bau air laut sudah tenang. Pukul 11 malam kapal merapat ke Pelabuhan Murhum, dan aku bersyukur diberi 15 jam untuk mengalami pengalaman yang mungkin tidak akan kualami lagi seumur hidup.