Friday, July 26, 2013

BOTAK... AKHIRNYA

Setelah setahun menuliskan renunganku tentang keinginan berkepala plontos (baca: BOTAK), akhirnya dua minggu lalu, tepatnya Minggu 14 Juli 2012 yang lalu aku resmi memiliki kepala baru, eh salah, maksudnya kepala tanpa rambut keritingku yang biasa kubiarkan terurai. Betul-betul ini suatu keberanian untuk membuat keputusan yang paling dasyat dalam sejarah hidupku... 

Keberanian ini sebetulnya datang melalui suatu pengalaman yang lebih dasyat lagi yang membuat berkepala botak seolah-olah tampak ringan, bukan suatu hal yang luar biasa seperti selama lima tahun ini bolak-bolak kupikirkan. Bagaimana itu bisa terjadi? Ya, kalau aku merenungkan lagi pengalamanku ketika berhadapan dengan Maut di Laut Flores akhir Juni lalu (baca: MALAIKAT MAUT DI LAUTAN), itulah anugerah keberanian paling dasyat yang pernah diberikan Tuhan kepada diriku. Setelah aku dimampukan untuk melalui peristiwa itu, maka seolah-olah bagiku saat ini apa pun (yup, apa pun) tidak ada lagi yang mampu memberiku rasa takut atau kuatir. Aku akan mampu melaluinya...

Beberapa hari sebelum Minggu bersejarah itu, aku memandang wajahku di cermin bulat yang ada di dinding kamarku. Lalu aku memperhatikan rambut keriting warisan almarhum mamaku tercinta yang terurai panjang hingga melewati bahu. Walau warnanya masih hitam, namun di sana sini sudah tampak rambut putih alias uban menjadi penghias. Memang tidak bisa dipungkiri waktu membuktikan bahwa setiap orang pasti akan mengalami yang namanya AGING atau penuaan. Selain uban, rambut ini juga mengalami kerontokan. Tiada hari tanpa rambut rontok tiap kali menyisir. Volumenya juga kurang, walau keliatan mengembang, karena tiap helainya tipis; terlihat sekali setiap kali selesai keramas. Kadang-kadang ketombean, terutama kalau lewat tiga hari tidak mencuci rambut. Jadi, sempurnalah sudah ketidaksempurnaan mahkotaku. Keriting, ubanan, rontok, tipis, ketombean...

Sehabis perjalanan panjang mengelilingi Sulawesi dimana di beberapa tempat aku berkesempatan untuk menikmati air lautnya, rambutku keliatan tambah "loyo" karena tidak diberikan perawatan yang semestinya.Warna hitamnya agak sedikit memudar, bahkan agak sedikit memerah karena terik sinar matahari... Sedih deh melihatnya. Sambil memandangi rambutku itu, aku pun teringat kembali tentang keinginan memiliki kepala tanpa rambut. Apakah ini saat yang tepat?

Aku merenung dalam-dalam, flashback ke hari-hari yang telah lampau, dan deg, ingatan pengalaman di tengah laut itu langsung memenuhi mataku. Entah darimana, tiba-tiba datang dorongan yang maha dasyat yang membuat hatiku langsung bulat: Yes, aku harus melakukannya... Keraguanku sirna diganti dengan semangat yang membuncah. Aku lalu menaikkan ucapan syukur dan permohonan kepada Yang Maha Dasyat agar memuluskan langkah besarku ini. Ada sedikit rasa berdosa karena seolah ingin membuang berkat rambut yang sudah IA anugerahkan. Namun, nyuss, hatiku dimantapkanNya. Seolah ada bisikan, rambutmu akan tumbuh lagi... Dan berbeda dengan sebelumnya, aku bahkan tidak mempertimbangkan untuk meminta opini siapa pun atau sekedar memberi info pendahuluan. Biarlah ini menjadi kejutan buat mereka.

Tentunya aku pun kepingin rambutku nanti akan tumbuh lebih baik dan lebih sehat, kalau perlu keritingnya juga menghilang... Aku lalu memikirkan bagaimana caranya agar hal ini bisa terwujud. Aha, perlu minyak rambut atau hair lotion yang tokcer nih. Tapi dimana mencarinya? Aku lalu ingat toko obat cina di dekat pompa bensin. Oke, harus survei kesana (tapi si Koh bilang cuma ada ginseng rambut, dan aku memutuskan cari yang lain). Aku juga memikirkan bagaimana aku harus memperlihatkan penampilanku nanti, terutama di depan tetangga-tetanggaku. Aku ragu kalau mereka siap menerima kehadiran "the new me". Aku tidak mau ambil resiko "menjadi bahan belalak mata" dan memutuskan sementara waktu untuk tetap menutupi kepalaku. Selesai dengan semua pemikiran tersebut, kini tinggal menentukan kapan hari yang tepat untuk melaksanakannya. Kalau hari biasa akan lebih banyak kujumpai orang-orang yang kukenal, sehingga weekend kurasa lebih tepat. Sip deh...

Sabtu pagi kembali kupandangi cermin. Baru saja aku selesai menyapu dan membersihkan lantai rumah. Dan seperti biasa rambut rontok berserakan dimana-mana. Aku juga sudah mensurvei tempat cukur rambut (barber shop) di dekat rumah yang paling ramai dikunjungi. Namanya Bandung Barber Shop (BBS). Mungkin pemiliknya orang Bandung atau karena Bandung kota yang ramai dikunjungi. Harapanku karena tukang cukurnya profesional membuat potongan rambut yang sesuai keinginan pelanggan. Aku pun memutuskan hari Minggu besok adalah hari eksekusi, hari bersejarah, Hari H, D-day.

Minggu siang aku kembali berdiri di depan cermin ajaibku (cermin, cermin di dinding, siapa yang paling cantik?). Perlahan kubelai rambut keriting panjangku seolah mengisyaratkan belaian perpisahan. Batinku berkata, "Sudah 47 tahun kau menemaniku, terima kasih. Kini saatnya aku berpisah dengan lama-mu untuk bertemu dengan baru-mu..." Lalu kuambil kamera digital, dan membuat beberapa foto dengan obyek utama wajahku dengan rambut terurai, dari arah depan, kepala atas dan sisi kanan/kiri.

Pukul 4 sore aku bersiap-siap. Di depan cermin aku berdoa agar langkahku kembali dimantapkan, kemudian melangkah keluar rumah. Sore itu Mama Ratri sedang berada di luar rumah sambil menggendong cucunya, disampingnya berdiri salah seorang putrinya menemani. Selesai saling menyapa aku pun bergegas menuju ke BBS yang terletak di jalan utama perumahan kami. Dari seberang jalan kulihat di dalam sedang ada seorang pelanggan. Kubatalkan melangkah masuk ke dalam, dan kemudian menuju barber shop lain yang ada di ujung kanan jalan. Wah selain ada pengunjung, di depannya tampak beberapa orang sedang berdiri. Wadow, belum pede juga nih nanti melihat tatapan takjub dari mereka. (Catatan: pelanggan barber shop alias tukang cukur biasanya kaum pria, jadi pasti aneh kalau lihat wanita dewasa masuk ke dalam, mau cukur rambut pula bah...). 

Akhirnya aku bergegas menuju ke Plaza Cibubur dan menaiki lift ke lantai 3. Di sana aku window-shopping beberapa salon yang letaknya saling bertetangga. Wah ternyata semua salon itu dipadati pengunjung. Aku juga kurang yakin apakah mereka memiliki peralatan cukur rambut yang tepat. Namun, sebetulnya aku memang kurang pede dengan tantangan "melihat tatapan takjub". :-( Akhirnya aku masuk ke toko "segala macam Rp" dan membeli sebuah topi kupluk yang cocok.

Hari sudah semakin sore, tidak beberapa lagi waktu buka puasa. Aku kembali balik ke perumahan dan dengan mantap melangkahkan kaki menuju BBS. Hore, ternyata sudah sepi, tidak ada seorang pun berada di dalam ruangan kecil itu. Di depan pintu aku memanggil-manggil sang pemilik. Tak berapa lama muncul seorang pria muda yang ternyata merupakan sang Barber. Aku pun mengutarakan maksudku kepadanya. Wajahnya terlihat sedikit takjub mendengarnya, namun tanpa banyak kata ia mempersilahkan aku duduk di salah satu kursi kulit hitam yang menghadap langsung ke cermin panjang yang ditempel di sepanjang dinding. Pundakku lalu ditutupi sehelai kain. Sambil mempersiapkan peralatannya ia bertanya, "Mau sampai semana, Bu, plontosnya...?" Aku lalu memperhatikan sebuah poster yang ada di salah satu dinding yang berisikan beberapa foto model rambut pria. Aku bertanya, "Kalau botak abis, gimana...?" Ia menjawab, "Mendingan disisain setengah cm aja, Bu, jangan plontos benaran..." Niat awalku sebetulnya betul-betul tanpa rambut sedikit pun, tapi setelah mendengar sarannya aku pun mengiyakan.

Ia pun berdiri di belakangku, sebuah alat pencukur sudah ditangannya. Aku memperhatikan rambutku untuk terakhir kali, dan  sregggg, sreggg, sang Barber mulai menggerakkan tangan ajaibnya ke atas kepalaku, dan tiba-tiba kulit kepalaku sedikit demi sedikit mulai terlihat. Oh my God... Potongan demi potongan rambut hitamku jatuh ke lantai di bawah kursi. Dengan tenang, walau hati campur aduk, aku memperhatikan sebuah maha karya sedang dikerjakan... :-)) Kulit kepala bagian belakang kini mulai terlihat dari pantulan cermin di belakangku. Tiba-tiba masuklah seorang anak laki-laki dengan Ibunya dan langsung duduk di kursi tepat di belakangku. Melalui cermin bisa kulihat wajah si Ibu sedikit tersenyum memandang kursi di depannya. Kami pun lalu bertukar kata mengenai rambutku itu.

Tak butuh waktu lama untuk aku bertemu The New Me. Dengan tanpa helaian rambut, kepala bulat kecilku terasa ringan dan tampak lebih segar, dan wajahku terlihat lebih muda beberapa tahun. Sang  Barber masih asyik merapikan kepalaku, dan akhirnya beres sudah...Aku pun tersenyum lebar kepada diriku melalui cermin. Setelah membayar biaya pelayanan, kupakai topi yang tadi kubeli dan kemudian keluar dari ruangan bersejarah itu. Di kursi luar seorang pria muda juga sudah menunggu untuk dilayani. Dia merupakan orang ke-4 yang menyaksikan peristiwa langka sore itu, selain si Tukang Cukur, Ibu dan Anaknya. Aku pun bergegas menuju ke arah rumah. Sepanjang jalan tidak kutemui satu orang pun, namun setiba di depan rumah kulihat putri tetanggaku masih berdiri di depan rumahnya. Dari wajahnya terlihat tatapan heran, mungkin karena melihat aku memakai topi yang menutup seluruh kepalaku, tapi terutama karena ia melontarkan pertanyaan, "Dari mana Tante...?" yang kujawab dengan, "... dari depan.." Apakah ia merupakan saksi ke-5? Bisa iya, bisa juga tidak. Tapi aku sudah memutuskan untuk tidak banyak bercerita, kecuali terpaksa atau dipaksa. Hehehehe....

Di dalam rumah aku kembali menghampiri cermin dan memandang takjub bentuk wajahku. Tak puas-puasnya kuperhatikan dari segala arah: depan, belakang, kanan, kiri, atas. Dan kembali kuambil beberapa foto untuk mendokumentasikannya. Setelah puas memandang kloning kepala Demi Moore dalam film G Jane, aku lalu mandi. Air yang jatuh dan mengalir di atas kulit kepalaku rasanya lebih dingin. Ahhh, segarnya... (Untuk perawatan aku menggunakan shampoo bayi yang lebih lembut. Sedangkan air rendaman kacang hijau kuoleskan beberapa kali seminggu tiap pagi untuk membuat rambut cepat tumbuh. Selain itu mulai tgl 26 Juli aku juga mengoleskan hair lotion dari merek yang sama dengan shampoo bayi).

Malamnya aku mengirimkan SMS kepada dua sahabatku, Artha dan Esly:

"hai say, met hari minggu ya. cuma mau ksh kabar, setelah bolak/lik berpikir selama 5thn ini akhirnya aku telah melaksanakan salah satu mimpi besarku hari ini... apakah itu??? :-))

Keduanya tidak mampu menebak. Bahkan sekali pun aku mengirimkan tambahan clue melalui SMS:

"nih say gw ksh tambahan kata kuncinya: ringan, segar, lebih muda, hemat, ala david beckham... ayoooo?? hehehehe"

Hingga tulisan ini dibuat baru Artha yang mengetahuinya, itu pun setelah bertemu langsung dengan diriku. Namun ia pun belum seutuhnya melihat The New Me karena pada saat itu aku menggunakan wig. (Ketika saat itu kutantang, ia malah menjerit, "Ga ahhhh, ga kuat gue..."). Hehehehe, lucunya ibu itu....


Ditulis tgl. 26 Juli 2013.

Monday, July 8, 2013

MALAIKAT MAUT DI LAUTAN

Gelombang tinggi terus menghantam lambung kapal. Kapal kayu itu sudah seperti mainan anak-anak, tak berdaya menentang kerasnya hantaman ombak dari seluruh sisinya. Penumpang wanita mulai bersahut-sahutan memanggil nama Yang Maha Kuasa. Anak-anak yang lebih kecil saling kompak bergiliran muntah di setiap sudut kapal. Aku sendiri sudah tidak mampu berpikir apa-apa. Otak terasa beku, dan tubuh sudah tidak memiliki tenaganya. Mataku hanya mampu menatap ombak tinggi yang terus menerjang kapal kami dari lubang jendela yang terbuka. Dari mulutku hanya mampu keluar doa lirih, "Tolong kami Tuhan, tolong kami Tuhan...."

Ini pengalaman terhebatku menjelang hari-hari terakhir travelling mengelilingi Sulawesi. Maut terasa begitu dekat, dan hawa yang dihembuskannya begitu dingin menusuk hingga ke sumsum tulang. Tiada yang menyangka, bahkan bagi beberapa pelaut senior yang menjadi penumpang saat itu, bahwa rintik hujan dan angin kecil yang semenjak pagi mengiringi keberangkatan kapal dari pelabuhan Usuku di ujung Pulau Tomia akan berbalik menjadi badai dasyat di tengah perjalanan. Prraaakkkk, kembali gelombang tinggi menabrak tubuh kapal. Tas, kardus, bungkusan, dan segala macam barang yang tersusun di lantai kayu jatuh porak-poranda. Beberapa Ibu kembali menjerit menyebut asma Allah. Beberapa bapak mulai sibuk memakaikan baju pelampung pada anak-anaknya. Suasana kian mencekam. Malaikat maut seolah ingin memperlihatkan kekuasaannya. Hanya dengan meniup angin lebih kencang kapal kami pasti terbalik ke Laut Flores yang maha dalam.

Aku sudah memuntahkan seluruh isi perutku semenjak sejam yang lalu, pada saat kapal mulai bergoyang-goyang dicium ombak yang pelan-pelan berubah menjadi gelombang keras. Di atas matras coklat (tempat tidur karet) di dek atas sebelah kanan aku hanya bisa tergolek lemas membaringkan diri. Kepala mau pecah karena pusing. Mata terpaksa dipejamkan untuk menghalau rasa pusing dan mual. Dari otak dan hatiku hanya bisa menggaungkan doa Bapak Kami, dan memohon pertolongan Yang Di Atas. Berpuluh, bahkan mungkin ratusan doa yang sama terus kugaungkan, mungkin sudah seperti dari bawah sadarku.

Lalu, braaaakkkkk, hempasan gelombang lebih dasyat membantingkan badan kapal. Mataku langsung terbuka, namun tubuh tak mampu bangkit karena kerasnya goyangan. Kulihat air laut melompat masuk dari lobang jendela. Beberapa anak menjerit sambil menangis kencang. Ayah mereka sibuk menenangkan dengan suara lemah. Dua bapak dengan susah payah mengangkat pintu kayu untuk menutup lubang jendela. Dan pada saat itu bayangan kematian bermain di mataku. Inikah jalanNya? Inikah saatnya aku bakal bertemu dengan Penciptaku? Dengan mata batinku kubayangkan seandainya kapal ini terbalik, dari sisi jendela manakah aku akan terlempar ke dalam lautan yang sedang meraung-raung. Apakah pelampung oranye yang kupakai akan menjadi alat bagiNya untuk menolongku? Apakah aku akan mampu timbul ke permukaan air, ataukah tubuhku akan kian terseret arus dasyat yang membawaku makin dalam masuk ke tubuh laut? Bagaimanakah rasanya ketika aku sudah tidak bisa mengisap udara dan asinnya air terus masuk melalui hidung dan mulutku, apakah aku akan merasakan paru-paruku tersedak dan kemudian meledak? Ataukah aku akan jatuh pingsan seiring dengan nyawaku melayang pelan-pelan dari tubuhku? Apakah jasadku bakal ditemukan atau hilang lenyap di dasar lautan? Bagaimanakah adik-adikku, keluargaku, saudara-saudaraku dan teman-temanku akan menerima berita ini? 

Batinku terus berpikir, raga duniaku menjerit ketakutan, namun anehnya jiwaku terasa damai. Kalau memang saat inilah WAKTU bagiku, aku sudah siap Tuhan. Kuserahkan Tubuh, Jiwa dan Rohku ke dalam tangan pengasihanMU. Pengharapan inilah yang membuat jiwaku tenang. 

Hari itu adalah Minggu 30 Juni 2013 saat aku dalam perjalanan menuju Pelabuhan Murhum, Bau-bau di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara yang berjarak kuranglebih 10 jam perjalanan dengan kapal.. Kapal kayu KM Wisata Bahari mengangkut kurang lebih 100 penumpang berangkat dari Pelabuhan Usuku, Pulau Tomia, pulau ketiga terbesar di kepulauan Wakatobi pukul 08.00 WIT. Karena cuaca dan air laut yang sedang surut, kapal terpaksa berlabuh di tengah laut di dekat Pulau Lamanggau untuk menaikkan penumpang. Dengan perahu pong-pong (sejenis perahu kayu bermesin kecil) para penumpang satu persatu diangkut mendekati kapal dan dengan gagah berani melompat masuk melalui lobang jendela berukuran satu kali satu meter. Tua muda, dewasa anak-anak, pria wanita, mereka adalah para pemberani. Masyarakat yang hidup di pulau-pulau ini memang tidak memiliki alternatif angkutan selain dengan kapal yang kebanyakan merupakan kapal-kapal kayu buatan Makassar.

Pukul 10.00 WIT kapal akhirnya menaikkan jangkar dan berlayar dengan iringan hujan deras. Diperkirakan paling lambat pukul 20.00 WIT kapal akan tiba di Bau-bau. Seluruh tempat tidur karet yang tersusun di lantai kayu di dek atas dan bawah sudah ditempati pemiliknya. Sedangkan di dapur yang berada di bagian buritan (belakang kapal), beberapa ABK sibuk mempersiapkan makan siang. Puluhan kilo ikan gembung sudah dibersihkan dan menunggu giliran untuk digoreng. Sayur sop sedang menunggu mendidih, sedang nasi sudah selesai dimasak didalam panci-panci berukuran besar. Sambil menunggu waktu makan siang, sebagian penumpang membaringkan tubuh, sedang yang lain asyik mengobrol. Seorang Nenek sibuk menenangkan tangisan cucunya, sedangkan Ibu si Bayi malah asyik tertidur. Walau hujan, namun langit terlihat cerah, mentari masih memberikan sebagian sinarnya. Benar-benar perjalanan yang menyenangkan apabila cuaca bisa terus seperti ini. 

Pukul 11.30 WIT piring-piring plastik mulai disusun di sebuah meja sudut. Satu per satu menu mulai dihidangkan. Karena tadi pagi hanya makan dua potong pisang goreng, perutku sudah terasa lapar. Tanpa sungkan lagi aku menjadi 10 orang pertama yang antri menyendok nasi dan teman-temannya. Walau sederhana, namun masakan ala ABK kapal ini lumayan enak. Tak heran sebentar saja langsung ludes diserbu. Namun hidangan yang dimasak sudah dihitung porsinya sehingga tidak ada penumpang yang tidak kebagian. Good job...

Aku menikmati makan siangku sambil berdiri di bibir jendela kapal sambil menikmati lautan biru yang maha luas. Beberapa burung camar terbang berputar-putar di atas air mencari makan siangnya. Laut sedikit bergelombang, namun kapal berlayar tenang. Selesai makan aku kembali ke atas matrasku. Tak berapa lama aku mengikuti jejak penumpang lainnya: berbaring santai menikmati tidur siang. Sebentar saja aku sudah pulas tertidur.

Tidur siangku yang nikmat itu terhenti satu jam kemudian, ketika kapal mulai keras bergoyang-goyang. Aku lalu duduk terbangun dan melihat lautan yang tadinya tenang mulai terlihat menari-nari. Angin kencang menghembuskan tinggi gelombang dan mulai mendekati bawah jendela yang sengaja dibuka sebagai ventilasi ruangan. Hujan semakin deras dan langit menghitam. Kapal berayun naik turun tak berdaya. Pelan-pelan goyangan ini mengocok perutku. Aku mulai merasa pusing dan mual. Tak berapa lama aku menyerah, lalu dengan bersusah payah turun ke lantai kapal, dan dengan tertatih-tatih menuju belakang kapal. Di lobang WC kamar mandi dua pintu yang terletak di depan dapur  aku memuntahkan makan siangku. Setelah mual sedikit mereda, kembali dengan bersusah payah aku balik naik ke tempat tidur. Namun ombak kian bergelombang hebat, dan kapal makin tidak karuan goyangannya. Perut semakin dikocok-kocok. Beberapa menit kemudian, aku kembali berjuang berjalan ke kamar mandi untuk memuntahkan isi perutku. Kali ini yang keluar tinggal air berasa sedikit asam. Tubuhku sudah semakin lemas. Sebetulnya karena situasi bisa saja aku ber"hoek-hoek" melalui lobang jendela yang jaraknya lebih dekat, namun aku masih merasa perlu untuk menjaga mental penumpang lain. Malu juga kalau harus muntah diliatin puluhan mata... Sampai tiga kali aku harus berjuang bolak-balik ke belakang sebelum akhirnya menyerah dan tergolek lemas. Untuk minum air putih saja aku sudah tidak berani, takut nanti muntah lagi, apalagi untuk makan.

Semakin siang gelombang semakin menggila. Dan, badai yang sebenarnya akhirnya datang menyerang. Ditengah bunyi angin dan hempasan gelombang tinggi, gaung suara mesin kapal habis ditelan. Suaranya pelan-pelan menghilang. Ternyata mesin kapal rusak... Pada hantaman gelombang besar pertama, seluruh penumpang mulai waspada. Pada hantaman kedua, terdengar bunyi berbagai barang yang jatuh dengan suara keras. Anak-anak mulai berteriak ketakutan. Para ayah mulai mengambil pelampung yang disimpan dibeberapa celah di plafon dan memakaikannya pada anak-anaknya. Seorang Bapak bertubuh tambun berjalan dilorong dek sambil memberikan kata-kata menenangkan. Seorang pelaut senior yang tergolek di kiriku menenangkanku. Gelombang lebih besar kembali menghantam dan kapal oleng ke kiri. Si Bapak tambun tanpa berkata-kata lagi langsung memakai pelampungnya. Dan aku terdiam melongo ketakutan...





Makin sore kapal makin tak berdaya diombang-ambingkan dasyatnya ombak. Hantaman gelombang seperti tiupan malaikat elmaut. Diluar hanya gelap gulita yang terlihat. Ajaibnya, beberapa penumpang terutama yang berada di dek bawah malah tetap serius memejamkan matanya. Entah ketiduran, entah pasrah dengan nasibnya. Sungguh rasanya hidup dan mati benar-benar terserah kehendakNya. Lalu, tiba-tiba mesin kapal berhenti berputar dan mati, dan seluruh ruangan langsung gelap gulita. Inilah saat-saat yang paling menggelisahkan bagiku. Karena perasaan kematian terasa mendekat.

Tanpa bantuan kekuatan mesin untuk menerjang ombak, kapal seperti perahu kertas. Ibu-ibu mulai menangis dan berteriak berdoa. Semua orang terlihat pasrah, dan bersiap-siap menyongsong yang terburuk. Satu jam tanpa mesin, bantuan akhirnya diberikan oleh sebuah kapal kayu lain yang juga sedang menuju Bau-bau. Dengan penerangan senter, para ABK mengisi bahan bakar, dan memperbaiki mesin kapal. Lima jam terombang-ambing di tengah laut Flores akhirnya Tuhan memberikan kami kesempatan untuk hidup kembali. Mesin kapal akhirnya dapat diperbaiki, dan suara nyaringnya melegakan. Makin malam gelombang perlahan mulai mereda. Dan pada saat kami melihat lampu-lampu di daratan Bau-bau air laut sudah tenang. Pukul 11 malam kapal merapat ke Pelabuhan Murhum, dan aku bersyukur diberi 15 jam untuk mengalami pengalaman yang mungkin tidak akan kualami lagi seumur hidup.


Monday, May 6, 2013

PERPANJANGAN PASPOR

Mendadak dapat rejeki nomplok. Sahabatku, Non Esly mengajak jalan-jalan ke Singapore dalam rangka hut-nya tahun ini. Namanya rejeki yah puji Tuhan. Pamali kalau ditolak... :-)) Hari itu juga laci lemari diubek-ubek untuk mengecek tanggal kadaluarsa paspor. Wah ternyata mesti diperpanjang dulu nih. Sebetulnya masa berlakunya masih tiga bulan lagi, yaitu Juli 2013. Tapi peraturan kebanyakan negara membatasi jangka waktu minimal 6 bulan dari tanggal kedatangan. Ini artinya siap-siap berjibaku lagi di kantor imigrasi. Lima tahun ternyata masih menorehkan kenangan tentang bagaimana beratnya "perjuangan" untuk membuat dokumen negara ini.

Dari informasi kuperoleh mulai tahun 2013 perpanjangan paspor bisa dilakukan satu hari, yaitu di Kantor Imigrasi (Kanim) Jakarta Pusat dan Kanim Jakarta Barat. Dan ini berlaku untuk setiap paspor yang dikeluarkan oleh semua daerah. Pasporku edisi 1, 2 dan 3 sebelumnya dibuat di Kanim Jakarta Timur. Wah, boleh juga nih mencoba pelayanan satu hari. Hemat waktu dan ongkos...

Mulailah aku mempelajari tata cara pembuatan paspor online melalui www.imigrasi.go.id. Paspor lamaku dikeluarkan tahun 2008, yang mana pada saat itu semuanya dilakukan secara manual. Artinya, pagi-pagi kita harus antri untuk membeli formulir (+ map), lalu mengisinya dan melengkapi dengan beberapa dokumen penting yang dibutuhkan, kemudian setelah itu antri lagi untuk mendapat tanggal wawancara dan foto. Sedangkan kalau melalui paspor online, formulir tinggal dilengkapi, dan kemudian meng-upload dokumen yang dibutuhkan. Kalau sistem menerima permohonan, maka kita akan diteruskan untuk memilih tanggal wawancara dan lokasi kantor imigrasi. Kalau kita sudah oke dengan pilihan kita, maka kita akan menerima  Tanda Bukti Pendaftaran Online yang wajib dibawa beserta dokumen asli dan fotokopi pada tanggal tersebut. Very simple and easy. Tapi ternyata belum semua orang tahu mengenai hal ini.

Senin, 29 April 2013
Dengan menggunakan kamera digital aku memotret KTP, Kartu Keluarga, Paspor Lama, Ijasah dan Akta Lahir dengan menu "Potrait Document". Sistem pendaftaran online meminta agar besarnya tiap dokumen  tidak lebih dari 1,5MB dan tidak kurang dari 100KB. Jadi aku men-switch kamera ke 1MB. Kok dipotret dokumennya? Aku juga merasa aneh, karena jelas-jelas sistem meminta agar dokumen di-scanner. Namun file yang diminta berbentuk JPEG (alias file foto) yang berbeda bentuk filenya dengan scanner. Mangkanya ketika kemaren hasil scanner di-upload ke situs imigrasi, sistem mereka langsung menolak. Alhasil harus diakali dengan kamera, dan ternyata baru berhasil...!

Setelah formulir diisi lengkap dan dokumen sudah di-upload, aku diminta memilih tanggal wawancara dan kantor imigrasi. Untuk tanggal aku memilih Jumat 03 Mei 2013 agar ada waktu untuk mempersiapkan fotokopi dokumen. Sedangkan kanim aku mau mencoba pelayanan satu hari di Kanim Jakarta Pusat, Jl Merpati, Kemayoran, Jakpus. 

Ternyata dari daftar pilihan kanim, Kantor Imigrasi Kelas Khusus Jakarta Pusat malah tidak tertera. Aneh... Pelan-pelan kubaca lagi dari awal daftar tersebut, tapi tetap tidak menemukannya. Hhhhhh.... Yah sutralah. Akhirnya aku memilih kembali Kanim Jakarta Timur. Sistem kemudian mengirim file.pdf yang berisikan Tanda Terima Pendaftaran Paspor Online yang harus dicetak dan dibawa. Oke, langkah 1 beres,

(Waktu aku menanyakan masalah ini kepada petugas di sana, jawaban yang kudapat malah tambah membingungkan. Yang satu bilang, kemungkinan data-data dan dokumenku belum tersimpan diserver pusat. Yang lain bilang, kalau untuk pelayanan satu hari tidak bisa mendaftar secara online tapi harus langsung datang ke sana. Yang mana yang benar, aku ga tau. Karena mencoba mencari informasi melalui nomor hotline Humas 0215224658 ext.2106 tidak pernah ada yang mengangkat :-((...)

Jumat, 03 Mei 2013
Pukul 05.30 WIB aku sudah bergegas keluar dari rumah. Prediksiku paling nyampe-nyampe di imigrasi masih kepagian. Eh, ternyata sampai di sana pukul 07.15 WIB halaman depan kantor imigrasi yang bersebelahan dengan Lapas Cipinang itu sudah dipenuhi oleh ratusan orang yang berdiri mengular di depan pintu masuk. Busyet deh... Kirain kepagian, ternyata sudah ada yang antri dari pukul 06 pagi. Karena tidak ada petugas yang bisa membantu memberikan informasi yang manakah antrian untuk yang mendaftar online, aku pun masuk barisan dan ikutan berbaris. Persis seperti antrian mau ambil sembako yang sering kulihat ditelevisi. Padahal mau kasih duit ke pemerintah lho. Kasihan rakyat pemilik negeri ini... :-((


Beberapa menit sebelum pukul 08.00WIB pintu pun dibuka petugas. Dan, byurrrr, sedikit terjadi dorong mendorong. Di dalam, seorang petugas sibuk mengarahkan antrian sesuai metode pendaftaran.  Yang sudah mendaftar melalui internet diminta berbaris di depan pintu yang menuju ruang loket formulir dan fotokopi. Yang baru akan mengambil formulir alias manual diminta antri menaiki tangga menuju ke lantai 2. Antrian dari kelompok ini ternyata meluber sampai ke bawah tangga alias panjang sekali...

- untuk paspor manual kuota dibatasi 150 orang tiap hari (waktu dibatasi s/d pkl 11.00);
- untuk paspor online kuota dibatasi 100 orang tiap hari.

Yang mengantri melalui jalur internet tidak terlalu banyak, pagi itu ada sekitar 20 orang. Seorang petugas mengecek kelengkapan fotokopi dokumen sambil mengatur susunannya. Setelah itu ia pun memberikan nomor antrian untuk pengecekan lanjut di lantai 2. Aku mendapat nomor 315. Angka 3 ternyata semacam kode awal untuk pendaftar online, artinya aku mendapat urutan ke-15.

Setelah nomor ditangan aku lalu menuju loket formulir yang ada diruangan itu dan meminta formulir Surat Pernyataan. Formulir ini harus dilengkapi dan ditandatangani di atas meterai. Barulah aku menuju ke lantai II dan menunggu di kursi tunggu di depan loket 5. Di lantai ini ada beberapa buah loket, yaitu loket 1-4 untuk pendaftar manual, loket 5 untuk pendaftar online. Selain itu ada satu ruangan tertutup untuk wawancara dan foto, loket 6-7 untuk mengambil nomor kasir (!) dan loket kasir, serta loket 9-10 yang terletak disisi luar sebagai ruangan foto dan wawancara.

Berbeda dengan kunjunganku terakhir di tahun 2008, kantor pelayanan paspor kini sudah berpendingin ruangan, loket-loketnya pun telah dilengkapi dengan papan listrik yang akan mengeluarkan angka sesuai urutan yang terdengar dari pengeras suara. Kursi tunggunya juga banyak dan nyaman. Secara fisik sudah ada peningkatan yang signifikan.

Berbeda dengan pelayanan secara fisik, pelayanan secara sistem masih belum terlalu banyak perubahan. Aku kira pendaftaran online akan mengurangi waktu tunggu hingga 50%, ternyata tidak juga. Mendaftar online ternyata hanya agar tidak perlu antri untuk ambil formulir saja. Tapi selebihnya tetap seperti 5 tahun yang lalu. Yang kasihan mereka yang baru mau mengambil formulir, kalau kuota 150 map habis yang belum kebagian yah harus kembali lagi besok untuk antri.

Pukul 08.01 WIB satu persatu nomor antrian mulai dipanggil. Lampu tombol di atas loket menyala merah memamerkan nomor-nomor yang dipanggil. Di sebelahku seorang Ibu sedang memperhatikan nomor antrian ditangannya. Angka 045. Dari rumahnya di daerah Kebon Nanas Ibu ini sudah tiba pukul 06.00 pagi. Wah jam berapa dipanggil ya? terdengar ia mengeluh kecil.

Pukul 08.50 WIB nomor antrianku dipanggil. Aku pun bergegas menuju loket 5. Fotokopi dokumen kuserahkan, dan mulailah petugas memeriksa dengan teliti. Beberapa menit kemudian... "Ibu, akta lahirnya tidak ada?" Wah, pertanyaan yang sudah kuduga. "Ada Pak, tapi saya tidak mau pakai, karena menurut saya salah," jawabku. "Iya, tapi di ijasah tidak ada nama orang tua," ungkapnya lebih lanjut. Kuperlihatkan akta lahir yang kubawa. Ia membacanya, dahinya mengkerut sedikit. Lalu ia berdiskusi dengan petugas lain yang duduk disebelahnya. Akhirnya ia menuliskan sesuatu disehelai kertas kecil yang ditempelkan di atas berkasku. "Ibu minta tolong ke bagian Infokim di lantai 1. Bilang aja minta berkas dokumen yang lama," sambil menyerahkannya ke tanganku.

Wadoww, urusan yang tidak pernah beres. Gara-gara Kepala Sekolah salah/malas menulis nama lengkap dan tanggal lahir yang benar di ijasah SD, jadi terus terbawa sampai sekarang. Namanya juga jaman aku SD khan masih jadul, ijasah kelulusan masih ditulis dengan tangan. Nah, pas almarhum Bapakku memprotes penulisan nama dan tanggal lahirku yang salah, almarhum Kepsek cuma bisa menjawab, "Wah, ini harus dibawa ke Bandung lagi kalau mau diperbaiki..." Yah, githu deh, akhirnya dari ijasah SD lanjut ke ijasah SMP, lanjut ke ijasah SMA, dan ujung-ujungnya data diri di ijasah dipakai untuk pembuatan akta lahir. Yah, jaman 1980-an para orang dewasa belum terlalu peduli sama keakuratan data. Apalagi aku yang ga ngerti apa-apa....

Ruang Infokim terletak dibagian depan di lantai 1 bersebelahan dengan ruangan pengambilan paspor. Di dalam tampak sepi hanya ada dua petugas sedang duduk di belakang loket. Kepada seorang petugas wanita kuserahkan berkas dokumen yang kubawa sambil menyampaikan pesan dari petugas di Loket 5. Sambil tersenyum manis ia mempersilahkan aku duduk menunggu. Tidak sampai lima menit ia sudah memanggilku sambil memberikan tiga lembar yang baru saja di-print. Sambil memperhatikan lembaran yang dia berikan aku coba-coba mengingat dokumen apa saja yang pernah aku serahkan dulu. Kayaknya dulu banyak deh dokumen yang aku kasih, batinku. Aku tanyakan ke petugas tersebut apakah masih ada dokumen yang lain, seperti akta lahir, ijasah dsb., ternyata menurutnya hanya ketiga lembar itu yang tersimpan diserver. Yah sutralah... Qui sera sera kalau githu. Akhirnya aku kembali menuju ke lantai 2.

Sampai di loket 5 kulihat antrian 320 sedang dilayani. Aku menghampiri petugas dan untungnya ia seperti sedang menungguku. Aku serahkan kembali seluruh berkas yang kubawa termasuk yang dari Infokim. Kembali ia berdiskusi dengan teman disebelahnya, kali ini sambil mesem-mesem. Kelihatannya teman disebelahnya itu lebih senior dan bisa meyakinkannya untuk tidak terlalu kuatir dengan dokumenku.

Akhirnya semua berkasku disetujui (Thanks God), dan ia pun memberiku selembar kertas putih yang ternyata adalah bukti untuk mengambil nomor antrian untuk membayar (can't you imagine?). Mengambil nomornya juga tidak boleh saat itu tapi harus sesuai waktu yang tertera di kertas, yaitu pukul 11. Padahal selesai urusan cek dokumen pukul 09.25. Jadi bersabar lagi menunggu sekitar 1,5 jam. Aku lalu menuju ke bagian ujung ruangan, dan menunggu di depan loket 6-7.

Setelah mengambil nomor antrian pembayaran (aku dapat nomor 539) aku menunggu lagi untuk menuju loket 7 dan membayar biaya paspor sebesar Rp 255.000. Perinciannya: Biaya pembuatan paspor Rp 200.000, foto Rp 55.000. Petugas kasir akan memberikan bukti pembayaran, dan... nomor antrian (lagi) untuk wawancara dan foto!


Selesai membayar aku menuju ruangan 10 untuk menunggu giliran foto dan wawancara. Setiba di sana sudah banyak yang sedang menunggu giliran. Kulirik papan antrian di atas pintu: 791, sedangkan nomorku 838. Masih ada sekitar 45 orang lagi sebelum giliranku, padahal waktu sudah menunjukkan pukul 11 siang. Hanya tersisa 30 menit sebelum waktu istirahat shalat dan makan siang. Yah sutralah, aku pun duduk di salah kursi yang kosong. Di ruangan depanku terlihat beberapa orang sedang diambil fotonya, sedangkan dibagian yang lain wawancara masih berlangsung.

Pukul 11.20 WIB kulihat petugas foto (semuanya perempuan) sudah siap-siap berbenah, padahal masih tersisa 10 menit lagi, dan antrian baru sampai nomor 809. Tapi begitulah, dengan santai mereka berjalan keluar ruangan dan menghilang di ujung lorong. Tepat pukul 11.30 barulah petugas wawancara satu persatu meninggalkan ruangan dan  puluhan orang yang masih duduk sabar menunggu. (Sabar? Bete, kali....)



Otomatis hingga pukul 13 nanti tidak akan ada kegiatan apa-apa diruangan ini. Sebagian pengunjung beranjak meninggalkan ruangan, beberapa orang mengambil posisi PW (paling wuenak) dikursinya untuk beristirahat siang, yang lain asyik mengobrol, sedangkan aku memilih untuk keluar ruangan dan turun ke bawah untuk mencari udara segar.

Pukul 12.45 WIB ruangan tunggu mulai dipenuhi kembali oleh para pengantri. Pukul 13.00 WIB belum tampak satu petugas pun yang muncul. Satu orang petugas muncul dan masuk ke dalam, namun ia bergegas kembali ke luar ruangan sambil membawa sebuah tas. Busyet deh, jam berapa baru dimulai nih?. Nomor antrian di atas pintu masih belum berubah, tetap: 809.

Akhirnya satu persatu petugas ruangan 10 mulai hadir di kursinya masing-masing. Seorang petugas berjalan ke arah penunggu sambil membawa tumpukan map. Kemudian ia mulai memanggil nomor sesuai urutan. Kembali ruangan foto dan wawancara sibuk dengan aktifitasnya yang sempat tertunda.

Pukul 13.40 WIB nomor urutku dipanggil. Aku lalu masuk ke ruangan dalam dan duduk menunggu. Jadi walau nomor urut kita sudah dipanggil kita tetap harus menunggu giliran untuk melakukan sesi pemotretan, dan setelah itu menunggu lagi untuk wawancara. Setelah 20 menit menunggu, petugas foto memanggil namaku. Aku menuju salah satu kursi yang menghadap sebuah kamera dengan lampu terang di dinding belakangku. Sebelumnya ke-10 jari tanganku diambil sidik jarinya. Lalu petugas mengambil foto seluruh wajahku. Sesi pemotretan berjalan lancar dan aku kembali ke kursi tunggu.

Pukul 14.20 WIB dari salah satu bilik wawancara terdengar namaku dipanggil. Aku bergegas menuju ke meja itu, dan tampaklah seorang Bapak Petugas di belakang meja dengan sebuah monitor komputer di atasnya. Kusalam beliau, dan aku dipersilahkan duduk. Si Bapak lalu membaca data yang tertera di monitornya, dan kemudian melemparkan beberapa pertanyaan verifikasi.

Dokumen asli yang kubawa kemudian mulai diperiksanya. Dan, kulihat kerutan kening kembali.... Aku sudah berdoa panjang lebar semoga Tuhan membuka jalan agar urusanku dengan dokumen abal-abal dari masa lalu berjalan lancar. Dan,... Puji Tuhan. Si Bapak akhirnya bisa menerima penjelasanku, dan aku pun diminta untuk menandatangani lembaran paspor baru. Well done. Thanks God. Akhirnya selesai juga.

Paspor baru bisa diambil setelah empat hari dari selesainya sesi wawancara dan foto. Artinya, Jumat 10 Mei 2013 aku bisa kembali datang untuk kembali... menunggu giliran dipanggil!!!




(Paspor baru sudah diambil Jumat, 10 Mei 2013, pkl. 13.00 WIB, termasuk paspor lama dengan mengisi Surat Pernyataan. Datang pukul 12.30 WIB - mengantrikan bukti pembayaran, terus keluar makan siang; kembali ke ruangan, menunggu 5 menit, nama dipanggil. Akhirnya, ga pake lama...! :-))

Ditulis pertama kali tgl 6 Mei 2013. (foto dari berbagai sumber di google images)

Referensi situs:
- paspor online: http://ipass.imigrasi.go.id:8080/xpasinet/faces/InetMenu.jsp
- blog konsultasi paspor: http://jasa-paspor.blogspot.com

Monday, April 29, 2013

KESASAR DI JAKARTA

Karena semangat untuk memiliki koleksi alat snorkeling yang lengkap, aku mencari-cari penjual baju pelampung (life vest) di internet. Sebelumnya aku sudah membeli paket snorkeling dari pameran Deep & Extreme yang diselenggarakan di JCC awal April yang lalu. Tapi LV belum terbeli. Padahal peralatan ini termasuk krusial untuk wisata berenang di laut. Survey ke beberapa toko penjual alat-alat olah raga, ternyata jarang menjual baju pelampung untuk orang dewasa. Kalau pun ada biasanya ukuran kecil untuk anak-anak.

Pencarian melalui internet pun ternyata tidak mudah. Online seller bisa dihitung dengan jari, dan rata-rata mereka distributor besar dan jarang memasok barang ini ke toko-toko olah raga. Ada juga satu orang yang menjual secara eceran, namun mematok harga yang cukup mahal. Setelah googling beberapa kali akhirnya didapatlah satu perusahaan. Melalui hubungan telepon diketahui alamatnya berada di Jl. Pluit Selatan Raya di wilayah Jakarta Barat. Dengan bantuan google map dapat dilihat kalau daerah itu dilalui oleh jalur bus Trans Jakarta jurusan Pinang Ranti-Pluit. 


Nah, kali ini aku mau mengisahkan betapa sulitnya mencari alamat di Jakarta. Walau di peta kelihatannya mudah dan semua tampak "dekat", namun kenyataannya bisa "nangis bombay" kalau salah atau kurang informasi, dan tentu saja... bertanya pada orang yang salah. Kisahnya aku mulai yah...

Sabtu, tanggal 20 April selesai latihan berenang (baca di disini pengalaman belajar berenang), aku menuju halte busway di depan RS UKI, Jakarta Timur. Saat itu baru sedikit meninggalkan pukul 09 pagi namun calon penumpang sudah berjubel mengantri. Tak berapa lama bus warna merah yang aku tunggu berhenti di depan pintu masuk. Penumpang langsung menyerbu masuk. Beberapa kursi kosong yang tersisa langsung terisi penuh. Karena tidak kebagian tempat duduk aku memilih berdiri di pojok depan di belakang kursi supir. Bus pun melaju kencang. Di tiap halte lebih banyak lagi penumpang yang naik dibanding yang turun, hingga bus terasa sesak.

Bingung 1

Satu jam perjalanan akhirnya bus memasuki wilayah Jakarta Barat. Sesaat setelah bus melaju meninggalkan halte Grogol, aku sempat bertanya kepada Pak Supir sekiranya dia bisa memberikan petunjuk arah mengenai alamat yang kucari. "Pak, kalau ke Jl. Pluit Selatan, saya lebih baik turun dimana...?". Si Bapak ragu-ragu menjawab, "Dekat mana yah itu?" Weleh, ternyata peta di daerah trayek bisnya belum benar-benar dikuasai. "Dekat rumah sakit Atmajaya, Pak," sahutku. "Oh bisa turun di halte Penjaringan kalau githu...," ucapnya yakin. Kuamati peta jaringan perjalanan bus yang ditempel di dekat kaca jendela. Ternyata itu halte bus kedua terakhir. Oke, siiippp deh, batinku senang. Mudah-mudahan langsung ketemu itu tokonya, tambah doaku.

Jalan raya tambah padat merayap. Kepalaku pun mulai celingak-celinguk mencari nama jalan yang dilewati oleh bus. Tapi tidak satu pun petunjuk yang bisa kudapat. Beberapa saat sebelum memasuki halte Penjaringan kulihat diseberang jalan berdiri dengan kokoh Mall Emporium Pluit. Dan didepannya melintas panjang sebuah jalan besar. Namun sayangnya nama jalan tidak jelas terbaca.

Disebelahku duduk seorang gadis cantik berkaca mata, yang kalau dari raut wajahnya kuduga dia merupakan penduduk di Pluit ini. Dengan dada penuh harap aku melempar pertanyaan, "Mbak, mbak, yang didepan mall itu jalan Pluit Selatan, bukan?". Ternyata ia lagi asyik dengan "dunianya". Pertanyaanku mengganggu keasyikannya. Sambil melepas earspeaker dari telinganya ia balik menjawab, "Apaa...?" Kuulangi pertanyaanku sambil memberikan senyum 'I'm sorry mengganggu'. Sambil melirik mukaku dengan ringan ia menjawab, "Ga tau...". Walah, masa ga tau sih, batinku sedikit kesal. Padahal kalau menilik dari santainya ia di atas bis, keliatannya ia merupakan pengguna reguler busway jurusan ini. Santai artinya tidak celingak-celinguk seperti yang baru pertama kali ke daerah itu. Penasaran aku bertanya lagi, "Kalau jalan raya yang dilewati bus ini sekarang namanya jalan apa...???" Lagi-lagi dengan wajah ringan ia menjawab, "Ga tauuu..." kali ini dengan tambahan sedikit mesem. 

Di seberang kursi kami dua orang wanita muda berbisik-bisik sesama mereka. Kutilik dari penampilannya minimal mereka bekerja di salah satu tempat di daerah itu. Aku lalu berpaling ke penumpang di depanku. Ternyata mereka sempat menguping pertanyaanku barusan, karena salah satu dari mereka lalu berkata, "Bu, kalau Pluit Selatan kalau ga salah jalan itu deh," sambil menunjuk jalanan diseberang arah jalur busway.  Puji Tuhan, batinku, mudah-mudahan benar petunjuknya. Bis berhenti dan dengan senyum terima kasih aku keluar dari dalam bis dan menuruni tangga halte Penjaringan. 

Di luar halte, di bawah kerindangan pohon yang sejuk kulihat seorang Polisi Lalu Lintas sedang berdiri diluar pos jaganya. Kuhampiri Pak Polisi ini dan bertanya, "Selamat siang Pak, kalau Jl Pluit Selatan itu yang mana yah..." Eh, Pak Polisi ternyata tidak pede dengan jawabannya, sehingga ia perlu mengkonfirmasi kepada salah satu teman mengobrolnya. Teman Pak Polisi lalu menunjuk ke seberang jalan ke arah kanan. Wah ternyata berbeda dengan petunjuk dari wanita muda di dalam bus tadi. Namun karena si Bapak kelihatannya pede dengan jawabannya aku pun mengikuti petunjuknya.

Di bawah terik matahari siang aku menyusuri arah tersebut. Beberapa menit melangkah, aku tiba di depan sebuah hotel kecil. Seorang Petugas Satpam yang sedang berdiri di depan jalan masuk hotel kuhampiri, dan kembali kutanyakan jalan yang kutuju. Ternyata, lagi-lagi, aku mendapat "blank face" alias ga tau apa-apa... Busyet deh ini orang ke-5 hari ini. Sesulit inikah mencari alamat di daerah ini? Batinku berteriak dongkol...

Orang 1: Supir Busway - blank face
Orang 2: Gadis berkacamata penumpang busway - blank eyes dan face
Orang 3: Wanita muda penumpang busway - lumayan update
Orang 4: Pak Polisi di Halte busway Penjaringan - blank face
Orang 5: Satpam Hotel Fave - blank face

Bingung 2
Beberapa meter dari hotel tadi di sebelah kiri ada Jl. Pluit Selatan I. Tanpa ragu aku memasuki jalan ini. Beberapa puluh langkah berjalan kulihat agak jauh di depan ada beberapa ruko. Hatiku mulai senang, namun  mendadak kuhentikan langkah karena aku ingat nama jalan yang kutuju adalah Jl Pluit Selatan Raya, sedangkan jalan ini Jl Pluit Selatan I. Wah beda banget khan. Daripada makin jauh tersesat akhirnya aku bertanya pada seorang Penjual Soto didekatku  yang saat itu sedang sibuk melayani pembelinya. "Mang, maaf, jalan ini tembus ke Jl Pluit Selatan Raya ga..?" Si Mamang sambil memotong irisan daging sotonya menjawab dengan santai, "Ini mah Jl Pluit Selatan I..." Aku lalu bertanya lanjut, "Katanya ada mesjid besar, disini ada ga mang...?" Sambil mengusap keringat dengan tangannya si Mamang menjawab," Disini mah ga ada mesjid, yang ada mesjidnya noh di sebelah sono..." sambil tangannya menunjuk ke belakang badannya. Arah tangannya ternyata menunjuk ke mall yang tentu saja sudah tidak kelihatan dari tempatku berdiri. Waduh, kok salah lagi jalan lagi yah...

Badanku mulai terasa lelah dan kaki sudah pegal, namun aku berputar arah lagi kembali ke jalan raya dan berjalan melewati hotel kecil dengan satpam blank face, melewati halte busway dengan polisi blank face, dan akhirnya menyeberang menuju Mall.

Di luar Mall terdapat trotoar yang siang itu fungsinya menjadi tempat beberapa pedagang berjualan makanan. Nah,  dekat lapak terakhir yang menjual nasi padang, tepat dibelakang Mall, ada sebuah mesjid besar yang sedang direnovasi. Anehnya, di kanan kiri mesjid itu tidak ada satu ruko atau pun toko, yang ada hanya sebuah komplek sekolah. Kudekati si Uda pedagang nasi padang, dan lagi-lagi... blank face. Kesal dan lelah akhirnya aku memutuskan untuk masuk ke Mall. Aku sudah niat kalau memang tidak ketemu lebih baik pulang. Namun sebelumnya aku mau beristirahat sambil makan siang dulu.

Di depan lobby ada beberapa petugas valet mobil sedang berdiri dekat meja informasi. Dengan menarik nafas sisa-sisa harapan, salah satu petugas kuhampiri. Dan lagi-lagi... blank face. Waduh, benar-benar hopeless perjalananku siang ini. Dipicu rasa penasaran akhirnya aku mencari nomor telepon toko yang kutuju. Sayangnya aku lupa mencatat, terlalu pede langsung berangkat tadi pagi... :-(. Untungnya aku bisa googling dengan hape yang kubawa. Nomor pertama yang kuhubungi ternyata salah, alamatnya di Pantai Indah Kapuk, namun untungnya nomor telepon kedua langsung tersambung dengan toko yang kumaksud. Ternyata arah yang kutuju masih jauh dari Mall itu. Tokonya terletak di daerah Muara Baru. Naek angkot U11 aja, kata pemilik toko.

Hatiku lega mendapat informasi baru, dan aku pun masuk ke dalam mall. Di depan rest room di dekat lift ada beberapa petugas cleaning service sedang sibuk membersihkan lantai. Dari mereka aku mendapat petunjuk tambahan kalau angkot U11 naiknya dari perempatan di seberang jalan. Aku pun menuju Carrefour yang terletak di lantai LG dan  makan siang di sana lalu membeli beberapa keperluan rumah. Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 12.30 WIB.

Orang 6: Penjual Soto di Jl Pluit Selatan 1 - blank face
Orang 7: Penjual Makanan di depan Mall Emporium - blank face
Orang 8: Satpam Mall Emporium - blank face
Orang 9: Cleaning Service Mall - update

Bingung 3
Tubuh sudah lebih segar, kaki sudah lebih kuat, aku kemudian keluar dari Mall yang dengan semangat baru melangkah menuju perapatan jalan. Jalan rayanya lumayan lebar-lebar, ditambah lagi kendaraannya lumayan padat, akhirnya dengan sedikit berlari kecil aku menyeberangi jalan. Bersamaku beberapa puluh pejalan kaki melakukan aksi yang sama. Sesampai di seberang jalan, tiba-tiba aku menyadari kalau jalan itu ternyata satu arah dan arahnya menuju mall atau asal tempat aku menyeberang...! Dan setelah kuperhatikan tidak ada satu pun angkot yang lewat. Waduuhhh, apalagi nih...

Didekatku melintas seorang wanita muda berjalan kaki. "Mbak, kalau angkot U11 lewat mana ya..?" Si mbak menghentikan langkahnya. "Kalau di jalan ini ga angkot lewat bu, mesti jalan kaki dulu ke ujung sana...," ucapnya sambil menunjuk ke arah yang dimaksud. Feeling langsung ga enak, kayaknya salah jalan lagi... Akhirnya aku kembali ke perempatan jalan, dan kulihat sebuah angkot warna merah sedang berhenti di pinggir jalan. Sayangnya nomor angkot U01. Kuhampiri bagian depan angkot lalu aku melemparkan pertanyaan pada Pak Supir. "Pak, angkot ini menuju Muara Baru bukan..?" Pak Supir menoleh, "U11 mah mesti dari belakang sana," sambil menunjuk ke arah belakang. Mataku mengikuti tangannya, kulihat arahnya melewati halte busway alias arah yang pertama kali aku susuri.

Waduh gimana nih, kok semua orang yang kutanya malah bikin aku seperti bola pingpong. Bolak-bolak di area yang sama, membuat kakiku gempor, kulitku menghitam karena terik matahari, dan membuat mulutku 'misuh-misuh' karena kesal. Sudah berapa jam berjalan tanpa hasil, akhirnya memutuskan kembali ke halte busway. Kembali kuseberangi jalan raya yang lebarnya seperti Sungai Mahakam, dan kurasakan kembali kesejukan pohon rindang di bawah halte tersebut.

Si Pak Polisi masih ada di sana, tapi kali ini untuk usaha terakhir aku memilih bertanya kepada seorang pedagang buah potong keliling yang mangkal di situ. Ndilala, si mamang kok pede banget dengan jawabannya... "Ibu harus jalan ke arah sana yang ada lampu merahnya, terus dari situ belok kanan, terus jalan lagi, nanti kelihatan angkot U11 lewat bu.." Kuperhatikan arah yang ditunjuk ternyata kembali ke arah Jl Pluit Selatan I namun di seberangnya.

Kembali aku menyusuri jalan sesuai petunjuk si Mamang Buah, dan sampailah aku di lampu merah. Setelah menyeberangi jalan, aku menunggu angkot di pinggir jalan didekat sebuah gedung besar. Dua orang tukang bangunan sedang sibuk memperbaiki dinding pagarnya. Lima menit menunggu, kok belum ada juga angkot yang lewat. Tiba-tiba salah seorang tukang menegur, "Lagi nunggu apa bu...?" Aku lalu menoleh ke arah mereka dan bertanya, "Angkot U11 lewat sini ga Pak..?" Si Tukang menjawab, "Oh dari sini ga ada angkot, Bu. Mesti jalan dulu ke arah sana, tuh angkot merah yang lewat itu, " katanya sambil menunjuk ke arah 300 meter dari tempatku berdiri.

Sebetulnya kalau dari awal aku naik ojek dari dekat halte busway mungkin dari tadi sudah sampai ke tujuanku. Cuma yah itu, aku paling malas naik ojek kecuali sudah kepepet banget atau karena mengejar waktu; dan aku juga tidak tau berapa ongkos ojek yang pantas untuk ke tujuanku. Malas nawar juga sih...


Kembali aku menyeret kaki dan tubuhku ke arah yang ditunjuk barusan. Daerah ini rasanya sih belum pernah aku lalui. Dan memang ini adalah daerah baru, namanya juga Muara Baru. Setelah kuingat-kuingat ternyata ini yang ada waduk Pluit, yang daerahnya langganan kebanjiran. Berbeda dengan Jl Raya Pluit yang dipenuhi bangunan toko dan perkantoran, di sepanjang jalan ini dipadati rumah-rumah mewah yang super besar.



Akhirnya aku sampai. Di depanku ada bangunan besar bertingkat, ternyata Hotel Aston. Sebuah Kopaja sedang berhenti menunggu penumpang. Sang Kenek kudekati dan kutanyakan tentang angkot U11. Berbeda dengan arah yang ditunjuk si Tukang, Sang Kenek malah menunjuk arah yang berbeda. "Angkot U11 mah lewat sana bu...," katanya menunjuk sebuah angkot merah yang lewat di seberang jalan. "Kalau ke Muara Baru ke arah mana?" tanyaku kembali. "Kalau Muara Baru yah ke arah sana.." sambil kepalanya melihat ke depan. Aku mulai bimbang karena sampai bus kopaja meninggalkanku tidak satu pun angkot U11 yang muncul.

Menunggu tanpa hasil, aku berjalan pelan-pelan sambil sekali-kali memperhatikan ikan-ikan kecil yang berseliweran di got hotel yang airnya lumayan bening. Wah, tumben nih ada got yang banyak ikannya. Ga percaya? Silahkan datang ke T.K.P.

 Sepuluh meter di arah kananku ada seorang Bapak yang sepeda onthel-nya sedang parkir di pinggir jalan. Ga tau bapak itu lagi ngapain, mungkin lagi berteduh di bawah pohon. Kuhampiri Bapak itu. Seperti biasa: blank face. Untungnya pada saat itu kulihat sebuah angkot merah muncul dari kejauhan. Ternyata itu dia: U11. Dengan semangat 45 yang masih tersisa, aku  menyetop mobil itu, namun sebelum naik aku bertanya apakah ini menuju ke Muara Baru? Ternyata, Puji Tuhan, akhirnya perjuanganku tidak sia-sia. Dengan hati penuh sukacita aku pun naik. Angkot kembali melaju. Melewati hotel dengan got beningnya, terus melaju melewati kawasan padat penduduk. Di sebelah kiri sempat melintas kawasan waduk, sebelum akhirnya ketemu macet lagi.

Akhir kebingungan
Penumpang disebelahku kali ini menjadi sumber informasi.
Aku:  "Ini Jl Pluit Selatan Raya yah...?"
Penumpang (mimik heran): "Iyah betul, memangnya mau kemana Bu...?"
Aku: "Ada mesjid besar dekat sini?"
Penumpang: "Iyah, sebentar lagi bilang aja sama supirnya..."
Aku: "Pak supir, saya turun di mesjid ya.."
Supir: "Udah dekat..."
Aku (agak berteriak karena melihat Toko TendaStore): "Saya turun disini aja, Pak..."




Orang ke-10: Wanita Pejalan Kaki
Orang ke-11: Supir Angkot U01
Orang ke-12: Penjual Buah Potong Keliling di Halte Penjaringan
Orang ke-13: Tukang Bangunan di dekat lampu merah
Orang ke-14: Kenek Kopaja
Orang ke-15: Bapak Bersepeda
Orang ke-16: Penumpang Angkot U11


(ditulis 1 tgl 23/4/13 update tgl. 03/05/13; foto dari berbagai sumber di google images)

Tuesday, April 23, 2013

GAYA BATU... (part 2)

Latihan 3-7: Gaya Kodok


Dengan modal pede yang sudah naik satu level (alias belum pede bener), kembali pagi-pagi ane datang ke kolam renang. Ini merupakan Sabtu ke-3. Seperti biasa rombongan ibu-ibu dari Kebon Jeruk sudah ceria dengan gaya masing-masing di dalam air. Wah keduluan lagi deh. Padahal jarak rumah cuma sepelemparan batu dibandingkan mereka. Gapapalah, yang penting niat dan semangatnya ga ketinggalan dari mereka...

Kalau pada sesi 1 dan 2 yang lalu, ane fokus pada latihan bernafas dan belajar mengapung, untuk sesi ke-3 sudah mulai mencoba untuk berenang dengan menggunakan gaya katak. Sesuai panduan, gaya kodok merupakan gaya yang paling mudah dibandingkan gaya bebas apalagi gaya kupu-kupu. Untuk gaya kodok ini, badan harus lurus di dalam air, kemudian kaki digerakkan seperti kodok berenang, pada saat kaki merapat, giliran tangan dikibaskan lebar-lebar seperti dayung mengayuh, lalu pada saat tangan merapat di bawah dada, inilah giliran kepala muncul ke permukaan air untuk mengambil nafas dengan mulut,  dan pada saat itulah badan bergerak maju. Gampang...? Kodok emang jago, kecebong juga, tapi ane tidak... 

Percobaan pertama, setelah badan meluncur, kaki mulai menendang air, setelah itu tangan dibuka lebar-lebar untuk mendayung, namun badan ga maju-maju. Kehabisan nafas, terpaksa berdiri di lantai kolam.    Pada percobaan kedua, kaki dan tangan kok malah bergerak sama-sama. Kacau dah, gagal lagi... Jantung dan paru-paru sudah megap-megap karena teknik bernafasnya juga belum mumpuni. Ternyata gaya katak itu cuma gampang dikhayalin atau dilihat, tapi pas dicoba susyaaahnya ampyunn deh kaka...  

Ternyata diam-diam aktifitas ane diperhatikan oleh ibu-ibu itu. Salah seorang langsung memberi komentar, "badannya belum lurus, mangkanya ga maju-maju..." Woalah, benar juga sih pengamatan mereka. Tapi (sekali lagi) memang lebih gampang membaca teori daripada prakteknya. Waktu kepala dan tubuh berada di bawah air, otak sih sudah menyuruh tangan dan kaki untuk bergerak sesuai "gaya kodok berenang", namun apa daya walau keduanya sudah bergerak, tapi yang muncul malah gaya anak kodok.

Kalau dipikir-pikir ironis juga, anjing aja bisa berenang walau ga pernah latihan, kucing yang kecebur masih bisa mengapung di air, kok ane yang otak dan kemampuannya jauh di atas mereka, bisa k.o. sih... Artinya apa nih...? :-(

Sampai latihan ke-6, belum ada kemajuan yang berarti. Namun untunglah semangat untuk berjuang menaklukan air makin tebal. Walau pernah juga timbul rasa putus asa dan malas, tapi akhirnya bisa dikalahkan karena melihat foto-foto pemandangan bawah laut yang menakjubkan. 

Akhirnya pada latihan ke-7, setelah dari rumah bertekad untuk berenang lebih baik, akhirnya badan sudah mau bergerak maju diair. Horeee.... Berhasil, berhasil, berhasil... Sebetulnya jarak majunya masih standar sih, kalau biasanya cuma sampai papan No.2, hari ini sudah bergerak sampai papan No.4.. Lumayan khan, kenaikan 100% jaraknya.... He he he he, walau kalau dihitung sebetulnya cuma maju 8 meter dari pinggiran kolam... 

Foto-foto yang membakar tekad dan semangat:







Latihan 8-9: Hasil dari perjuangan

Senang juga sih kalau melihat hasil kegigihan berlatih sampai 7 minggu ini. Karena ada juga dari tim ibu-ibu itu sampai ane bisa mengapung dan maju di air, dia bisanya cuma cipak cipuk air aja... :-). Yah, tapi semangat bermain airnya tetap mesti ditiru... Keep on the spirit, bu...

Nah, pada Latihan ke-8 sudah bisa berenang dengan gaya bebas, tapi gaya kodok masih ngok ngok ngok... Pada latihan ke-9, gaya kodok sudah lebih lihay, alias sudah bisa bergerak maju hingga papan No.8 alias dari tangga di ujung kiri ke tangga di ujung kanan... Nafas...? Masih ngos-ngosan dan sekali-kali masihlah ketelan air kolam...

Benar juga celetuk seorang ibu, memang harus ada tekad kuat untuk mau berlatih keras. Apalagi faktor umur sangat berpengaruh terhadap teknik bernafas dan kelicahan tubuh untuk bergerak di dalam air. Tekad ane sudah bulat, masih ada waktu latihan sebanyak 6X lagi sebelum perjalanan di bulan Juni nanti dilaksanakan.

Yang makin membuatku bersemangat adalah banyak sekali orang-orang yang dengan senang hati memberikan tips dan petunjuk yang berguna. Bahkan tanpa ragu mencontohkan gerakan yang benar di dalam air. Dan rata-rata mereka memang sudah jago berenang. Gaya bebas, gaya katak, gaya kupu-kupu, monggo... Terima kasih yah Bapak, Ibu, Mas dan Mbak semua... :))


Fyi, saking semangatnya peralatan untuk snorkeling sudah lengkap dimiliki lho. Paket itu terdiri dari fin (kaki katak yang terbuat dari fiber), masker/google dan pipa snorkel dan dibeli pada saat pameran Deep & Extreme tanggal 6 April kemaren. Baju pelampung (life vest) dibeli Sabtu kemaren langsung dari distributor di Pluit sono. Memang ga murah sih, namun mengingat perjalananan panjang, ga seru juga kalau setiap kali harus menyewa. Khan keren dilihat turis lain bawa peralatan sendiri. Modal nih ye... :-) Paling yang manyun para penyewa peralatan, ga dapat rejeki dari ane.


Kita lihat saja bagaimana hasil latihan selama beberapa bulan ini. Mudah-mudahan wisata airnya benar-benar sesuai harapan. Dan ane berhasil untuk melakukan satu lagi tantangan hidup yang ekstrim, yaitu menikmati air laut dan pemandangan dalam air dengan lebih josss....

(Cerita perjalanan wisata laut di Sulawesi dapat dibaca nanti pada blog: travelacakadut.blogspot.com yang bakal ditulis pada Juli 2013).


(Foto-foto dari berbagai sumber, courtesy google images)

Ditulis tgl. 23 April 2013.

Wednesday, March 13, 2013

GAYA BATU... (part 1)

Bisikan Malaikat Air
Entah kenapa setiap melihat kolam renang atau air laut yang bening, hati ane tidak pernah bergetar untuk segera menyeburkan diri dan menikmati kesejukan air itu. Yang ada malah otak serasa beku, hati menciut, dan kaki buru-buru melangkah mencari tempat yang sejuk dipinggiran kolam atau pantai, lalu kemudian dengan santai menyaksikan wajah-wajah yang berbahagia yang sedang menikmati air. Mungkin ini yang namanya terkena trauma, entah takarannya masih "cemen" atau malah sudah akut.

Kalau bicara trauma dengan kolam renang mungkin saja benar. Aku ingat ketika masih ingusan sering di ajak almarhum Bapakku berenang di Ancol, yang pada jaman itu - tahun 1970-an merupakan satu-satunya kolam renang terbesar di Jakarta. Beberapa kali pergi kesana tidak membuatku pandai untuk menaklukkan air. Masalahnya pada saat itu aku lebih senang mencibak-cibakan kaki di air, atau duduk santai di atas ban pelampung. Yang mengasyikkan lagi adalah berdiri di bawah air terjun dan merasakan jatuhan air yang terasa memijat seluruh tubuh. Nikmat deh. Kegiatan lain adalah tertawa menerjang arus ombak (wow seperti di laut), atau lomba menahan nafas dengan kepala di dalam air. Tapi bukan berenang...

Nah, sekali waktu pernah aku dan adikku Bertha dengan pedenya berlari-lari kecil dari pinggiran kolam dewasa yang ada air terjunnya dan kemudian langsung menyeburkan tubuh ke dalam air. Byuuurrr... Aku tidak menyangka kalau sisi kolam yang kami masuki ternyata "benar-benar" untuk orang dewasa alias dalam... Tubuh kecil kami berdua langsung tenggelam di dalam air. Kaget dan panik aku berusaha meronta-ronta. Dan semakin dalam tubuhku masuk ke dalam air. Aku berusaha berteriak minta tolong, namun malah semakin banyak air yang kutelan. Untunglah pada saat aku mulai kehilangan kesadaran, tiba-tiba tangan malaikat eh tangan Bapakku mengangkat kami berdua dari dalam air. Syok, tentu saja.

Nah, semenjak peristiwa itulah aku takut berenang. Bapakku beberapa kali berusaha mengajariku berenang, namun sepertinya sia-sia. Padahal adikku itu langsung pulih, dan kemudian belajar dan langsung pandai berenang. Demikian juga pada saat aku mengikuti pelajaran olah raga baik di SMP dan SMA, yang salah satunya adalah praktek berenang (dulu ke Gelanggang Otista atau Planet Senen), tetap tidak mampu membuatku pandai berenang. (Tapi kok tetap bisa dapat nilai ya..? Baik bener nih Guru Olahragaku... :-))

Dengan berjalannya waktu, kalau pun akhirnya "terpaksa karena dipaksa" menyeburkan diri ke kolam, tetap tidak bisa terlalu menikmati  dingin dan beningnya air seperti mereka yang sudah jago berenang, yang bolak-balik meluncur di air bagaikan duyung raksasa. Yup, aku memang tidak bisa berenang saudara-saudara... Artinya: 1. ane tidak bisa mengapung; 2. tidak bisa bernafas di dalam air; 3. tidak bisa meluncur di air; 4. apalagi berenang dengan segala macam gaya.... Ujung-ujungnya, kalau pun memaksa untuk mencoba berenang, rasanya kok badan malah terasa berat (akhirnya tenggelam), kaki tidak bisa digerakkan (akhirnya tenggelam), tidak mampu mengambil udara (karena kepala tidak muncul di atas air), dan gaya yang dipakai  pun tidak pernah berubah, yakni gaya batu. Alias, cuma bisa tenggelam! Paraaahh...

Sekian puluh tahun setelah peristiwa Ancol, dan sudah hampir kepala 5 tapi aku bisanya tetap cuma cebar-cebur. Malu juga sih kalau setiap main air, beraninya cuma yang dikedalaman berkisar 0,5 meter s/d 1,5 meter.  Di kolam yang kedalaman 1,8 meter aja sudah pasang bendera putih, alias menyerah, soalnya dalamnya kolam sudah melebihi tinggi tubuh sih, jadi udah langsung keder dan otak berteriak "oh no...". Apalagi kalau mesti di kolam dua meter-an ke atas, mending disuruh bunuh diri aja deh. Habisnya kan sama aja bakal sama-sama say good-bye kepada dunia.. Yang satu gara-gara mati tenggelam (karena tidak bisa berenang), yang lainnya karena sukarelah melepas nyawa sendiri. Hikkkss...

Entah "malaikat" mana yang berbisik ditelinga ketika sebulan lalu sedang merancang acara travelling kok tiba-tiba kepengen snorkeling di Bunaken, Manado... Terus tau-tau agendanya bertambah untuk pergi ke Wakatobi, Kepulauan Tukang Besi yang ada di Sulawesi Tenggara. Walaaah, semua orang di jagad raya ini pasti taulah yang namanya  berwisata ke Bunaken atau Wakatobi atau Raja Ampat, atau tempat wisata laut lainnya, yah tujuan utamanya adalah menikmati acara "wisata di dalam air", seperti berenang, snorkelling atau... menyelam. Lha ini boro-boro menyelam, berenang aja masih gaya batu. Mau snorkeling? Yah sama aja, minimal harus bisa menggerakkan badan di air... Apalagi arus laut kan beda dengan kolam renang alias butuh teknik tersendiri supaya tetap selamat menikmati air dan ombak. Kalau tidak yah mending "ke laut aja lu" alias wasalam..



Mungkin karena malaikat pelindung memberikan bisikan yang memunculkan motivasi kuat, hati kok jadi mantap untuk pergi ke dua tempat ini. Pengumuman sodara-sodara, perjalanan "ekstrim" ini dilakukan sehubungan perayaan ultah tahun ini yang kepengen merasakan sensasi perjalanan yang berbeda. Oh iya, cerita seru mengenai perjalanan mengelilingi Sulawesi dapat dibaca di blog: travelacakadut.blogspot.com. (Perjalanan akan dilakukan mulai tanggal 20 Juni hingga 2 Juli 2013, sekitar 2 minggu. Jadi cerita baru bisa ditulis pada bulan Juli 2013).

Mulailah otak berpikir keras dan logika mulai di-set up sistem navigasinya bagaimana supaya nantinya bisa benar-benar pol menikmati keindahan laut di dua tempat tersebut. Eureka! Mau ga mau, suka ga suka, wajib-kudu-mesti-harus belajar berenang. Titik. Lalu acara gogling pun dimulai. Tulisan mengenai berbagai cara dan teknik belajar berenang untuk pemula (bahkan untuk anak-anak - yaikks) dengan rakus dibaca. Sebagian dicatat, sebagian dihapal (kayak mau ujian) untuk dilaksanakan di kolam renang...

Latihan 1 - 2: Dugong Raksasa
Sabtu tanggal 2 Pebruari 2013, pukul 07.30 WIB sudah menuju Taman Bunga Widalatika Cibubur. Inilah hari pembuktian itu, bahwa tidak boleh setengah hati untuk melakukan persiapan. Setelah membeli tiket masuk (Rp 20.000), ane pun bergegas menuju area kolam renang yang berada 50 meter di sisi kiri dari loket tersebut. Di depan pintu masuk kolam renang, sudah terparkir beberapa mobil pengunjung. Wah pagi-pagi sudah ramai juga yang datang. Benar saja, setibanya di dalam area terdengar suara dan tawa mereka yang sedang menikmati jernihnya air. Ane bergegas menuju kamar ganti dan kemudian menitipkan tas bawaan ke loket penyimpanan yang terletak di sebelah kiri tangga menuju kolam renang. Handuk dan sandal yang dibawa ane letakkan di atas bangku semen berwarna hitam. Mata langsung tertarik pada jernihnya air di kolam utama yang berukuran olimpiade itu. Beberapa orang terlihat sudah asyik berenang. Di bagian pinggir kolam yang lebih dangkal dan ada tangga besinya seorang anak sedang serius mendengarkan instruksi pelatihnya. Di sisi kolam yang lain, seorang Bapak Tua sedang belajar berjalan di air dengan sebuah pelampung oranye melilit ditubuhnya didampingi seorang terapis. Yang tidak berenang asyik memperhatikan dari kursi-kursi yang berada di pinggiran kolam.


Walau mata sejuk memandang bersihnya kolam renang, tapi hati langsung menciut dan rasa malu mulai menghinggapi. Kayaknya belum pede deh bergabung di kolam utama itu, apalagi nanti ditontonin (teryata) baru belajar berenang... Akhirnya ane melirik kolam anak-anak yang ada di sisi lain, wah kebetulan lagi sepi. Buru-buru deh berjalan ke kolam itu, dan langsung menyebur ke air yang  jernih yang tingginya cuma sampai setengah paha. Beberapa kepala tampak sekian menit memperhatikan ketika ane berjalan ke sana, tapi EGP deh... Namanya juga usaha.

Di dalam air dangkal ini, ane coba mengingat-ingat teori dari internet yang kemaren dibaca dan dihapal. Ehmm.. Pertama-tama, belajar latihan nafas dan belajar terapung. Untuk berlatih bernafas di dalam air, kepala dan badan harus berada di dalam air. Awalnnya cukup susah memasukkan badan dan kepala ke dalam air, secara ini kolam cuma 50 cm tingginya. Namun, setelah beberapa kali usaha, akhirnya bisa juga. Sesuai teori yang dibaca, ane berlatih mengambil udara dengan mulut dan mengeluarkannya dari hidung. Itu terus berulang-ulang. Pff, pff, lumayan capek juga, bahkan sekali sempat tersendak, dan air kolam ada sedikit tertelan. Setelah istirahat sejenak, mulailah mencoba latihan mengapung. Wah, ini lebih susah lagi, karena kaki dan badan terlalu dekat dengan dasar kolam, sehingga selalu menyentuh lantai betonnya. Mencoba beberapa kali tetapi gagal, alias seluruh badan selalu jatuh ke dalam kolam. Yah, namanya juga manusia uzur yang baru belajar, mana bisa langsung lulus. Kalau anak ikan sih keluar dari telur induknya ga usah diajarin udah langsung berenang-renang. Karena badan udah mulai capek dan kaki sedikit kram (!) akhirnya acara belajar hari ini disudahi. Yah sekitar satu jam berada di dalam air, cuma terganggu sedikit oleh kedatangan seorang anak yang cuma berendam-rendam - tapi matanya terus memperhatikan "dugong raksasa" yang tak bisa bergerak di air, dan seorang anak balita yang bolak-balik meluncur dari papan peluncur di pinggiran kolam sambil ditemani ayahnya (yang keliatan sedikit mesem-mesem).


Di Sabtu depannya, atau latihan ke-2 acara di kolam renang yang sama, kali ini ane mulai memberanikan diri untuk meninjau kolam utama. Ane perhatikan ternyata "wilayah kedalaman" kolam tersebut terbagi 3, yaitu dipinggir paling kanan dan paling kiri adalah yang paling dangkal, yaitu 1,2-1,5 meter, makin ketengah 1,8-2 meter dan yang ditengah 2,5-2,8 meter. Area paling aman menurut versi ane yah yang 1,2 meter :-)), karena masih sebatas setinggi dada. Kalau yang 1,5 meter kepala sudah hampir kelelep, karena sama dengan tinggi badan. Kalau lebih dari itu sudah pasti kelelep sempurna. Jadi yah ane cari yang aman dulu deh, namanya juga baru belajar.

Hari itu kebetulan zona aman sisi ujung kanan ada beberapa ibu-ibu lansia yang sudah cebar-cebur di air. Ternyata mereka sedang latihan berenang juga. Hihihihi... akhirnya dapat juga teman senasib. Tanpa malu-malu lagi ane menuruni tangga kolam untuk masuk ke air. Seorang ibu yang sedang bersandar dipinggiran kolam langsung menyapa, "Berenang juga bu..?". Kalau melihat dari "basahnya" tubuh dan wajahnya, minimal sudah beberapa menit beliau berada di dalam air. Ternyata benar saja. Ibu-ibu ini merupakan satu rombongan yang berasal dari daerah Kebun Jeruk, Jakarta Barat. Tiap sabtu pagi mereka selalu mengusahakan untuk datang ke Cibubur untuk melatih otot-otot tubuh, dan sekaligus menikmati pemandangan hijau di taman wisata ini.

Setelah berbincang sejenak dengan mereka, ane mulai melakukan latihan. Yang pertama adalah cara mengambil nafas dalam air. Ambil udara dengan mulut, kemudian kepala masukan kedalam air. Tidak berapa lama muncul gelembung-gelembung udara dari hidung, tandanya kepala harus muncul lagi ke atas air. Ambil lagi udara dengan mulut, masukan kepala ke air. Demikian berulang-ulang. Paru-paru mulai mengap-mengap, jantung berdetak kencang. Wah, memang tidak mudah menjadi "ikan". Capek bo....

Setelah beberapa menit, ane kemudian coba tahap kedua, yakni belajar mengapung. Kali ini dengan tangan memegang pinggiran kolam, lalu kaki ditarik kebelakang dan badan diluruskan. Pelan-pelan pegangan tangan dilepaskan, dan... badan langsung masuk ke dalam air. Tenggelam. Coba lagi. Bleeeep... Tenggelam lagi. Susyahhh.... Usaha yang ketiga tetap belum berhasil. Yang ke empat setengah berhasil. Yang kelima, tenggalam lagi karena kecapean. Faktor "U" ternyata besar pengaruhnya. Akhirnya ane menyandarkan diri ke dinding kolam. Sambil beristirahat, ane coba memperhatikan gaya beberapa orang yang sudah jago berenang untuk menambah referensi. Seorang Ibu ikut beristirahat di pinggir kolam. Beliau sudah berumur 60 tahun dan seumur hidupnya tidak bisa berenang. Namun demi alasan kesehatan beliau rela menyemplung ke air setiap minggu. Good job, bu...

Matahari mulai terasa terik dan rombongan ibu-ibu itu satu persatu mulai keluar dari kolam dan menuju ruang bilas. Ane juga menyudahi acara latihan otodidak hari ini, dengan satu tekad minggu depan harus kembali. Air harus bisa ditaklukan... (eh bisikan malaikat lagi tuh...)

Lanjut ke entry berikutnya ya.

(Foto dari berbagai sumber, courtesy google images).





Sunday, February 10, 2013

TETANGGA-AN DENGAN PAK BEYE


Bertetangga sama orang nomor satu di negeri ini ternyata banyak ceritanya. Dulu waktu Pak Beye baru mulai "booming" namanya, setiap orang di daerah Cibubur kepengen banget ketemu dan bersalaman dengannya. Syukur-syukur bisa dapat angpao. Hiii, ngarep...

Waktu Pak SBY terpilih jadi RI-1, saya pernah bertemu "fis-2-fis" (maksudnya bertemu langsung) di satu gedung pertemuan yang terdapat di dalam area sebuah komplek perumahan eksklusif di Cibubur. Kebetulan saya ada acara training dari kantor yang mengambil tempat di sana. Nah, pas istirahat makan siang, ternyata datanglah rombongan Babe Besar yang kemudian ramai memenuhi sudut-sudut gedung tersebut.

Pada saat itu saya keluar dari ruangan training dan berjalan menuju lobi gedung, eh ternyata si Babe juga sedang berjalan menuju arah berlawanan. Jadinya berpapasan deh.. Tadinya kepengen menyalam tangannya, tapi pas liat raut wajahnya yang lagi cyusss, en tanpa senyum, jadi ngeri juga. Boro-boro mo minta salam, mau nyapa aja ane udah keburu keder. Takutnya tiba-tiba entar dihadang Satpol PP, eh salah (emang pedagang PKL), maksudnya Paspampres, terus entar diborgol, terus dikandangin (emang si meong)... Lebay banget sih...

Kisah yang lain. Suatu Sabtu siang pas mau siap-siap menyebrang jalan di depan Plaza Cibubur. Di beberapa titik sepanjang dua sisi jalan sudah berjajar Pak Polisi yang sibuk dengan walkie-talkie. Wah, seru nih, pasti Babe Besar mau lewat. Karena sudah dilarang untuk bergerak, rakyat jelata termasuk ane akhirnya berdiri menunggu rombongan ditepi jalan. Benar juga, setelah jalanan sepi dari semua jenis kendaraan, terdengar bunyi sirene kebakaran, eh sirene pengawal menguing-nguing kencang... Pertama sebuah motor besar harley davidson dengan polisi berkaca mata hitam melaju kencang. Dibelakangnya,  berjarak sekian meter melaju konvoi beberapa mobil dengan lampu merah berkedap-kedip, dan tak berapa lama munculah sebuah mobil hitam dengan Pelat nomornya RI-1.

Rakyat yang berdiri di sepanjang jalan yang dilalui mobil tersebut buru-buru pada merangsek kedepan, mengatur posisi agar dapat "melihat dan terlihat" oleh Presidennya. Terdengar sorakan "Pak Beye.. Pak Beye..." sambil riuh melambaikan tangan ke arah mobil tersebut. Pas mobil mercy hitam ini melewati jalan tempat ane berdiri ternyata benar ada Babe dengan Ibu Anie di dalamnya. Keduanya juga sedang melambai-lambaikan tangan melalui kaca mobil di sebelah sisi Ibu Anie yang setengah terbuka. Keduanya memamerkan senyum manis kepada rakyat yang sedang euforia... 

Suatu waktu saya mengajak Yoel dan adik-adiknya berjalan-jalan berkendara dengan Karimun mungilku keliling Cibubur. Dari Kota Wisata kami memutar balik ke arah Cibubur. Sesaat sebelum perempatan Cikeas-Nagrak, anak-anak mengusulkan untuk melihat rumah Pak Beye. Wah, boleh juga nih, pikirku. Tapi emang boleh masuk komplek yah, kan dijaga pasukan..? Akhirnya mobil berbelok juga ke Jalan Cikeas. Beberapa puluh meter kemudian terlihatlah gerbang Komplek Puri Cikeas berdiri kokoh di kanan jalan. Mobil kubelokan lagi menuju ke dalam komplek. Yoel, Beto, dan Yosua sudah sibuk tengak-tengok, yang mana yah, yang mana nih rumahnya..? Tak berapa lama di depan kami terlihat sebuah mobil tank Barakuda, walah udah mendekat area "red zone" nih... Adrenalin mulai sedikit berpacu. Lalu terlihatlah sejumlah pasukan berseragam dengan senjata laras panjang berdiri di depan pintu masuk sebuah jalan. Anak-anak sudah pada bisik-bisik sambil menempelkan hidung mereka ke jendela mobil (aku larang buka jendela takut malah penjaganya jadi curiga, padahal mungkin ga kenapa-napa jugalah). Itu rumahnya bisik mereka... padahal ga ada rumah di dekat para penjaga itu. Rumahnya Pak Beye masih masuk lagi ke jalan yang dijaga ketat itu. Yah, kayaknya ga mungkin untuk turun, terus permisi sama pak penjaga untuk bilang cuma mau lihat rumah Babe. Emang situ siapa..? Akhirnya mobil terjalan terus hingga ketemu jalan buntu dipinggiran lapangan yang penuh semak. Putar balik, dan kami pun kembali ke jalan keluar untuk pulang ke Kranggan. Sing penting sudah menghirup udara yang sama dengan Babe...

Karena posisi rumah di Kranggan tidak terlalu jauh dari jalan raya Alternatif Cibubur, maka masih bisa mendengar suara sirene menguing-nguing. Itu pertanda Babe sedang lewat (kalau subuh pasti menuju Istana Presiden di Jakarta), atau bisa juga itu bunyi sirene pengawal mobil keluarga Pak Beye, atau tamu yang berkunjung ke Cikeas. Kalau rakyat jelata emang ada yang punya mobil bersirene..? Kecuali dia membawa mobil ambulan atau mobil pemadam kebakaran.. Tapi bunyinya gampang dibedakan kok.. Pokoknya jalan raya itu termasuk jalan VIP, lha wong yang lewat para pejabat di negeri ini.

Kemarin tanggal 9 Pebruari 2013 ada lagi cerita seru. Jadi pas pulang window shopping di Cibubur Junction, di depan McDonalds Danau Cibubur sudah berdiri beberapa polisi di beberapa sudut jalan. Wah, sabtu-sabtu, siapa nih yang mau lewat..? Mobil angkot yang biasanya bebas berhenti di jalan itu diminta untuk berhenti di tempat yang telah ditentukan, yakni dekat jalan masuk pompa bensin. Biasanya kalau week-end Sabtu-Minggu jalan itu pasti tersendat alias macet, tapi hari itu lowong banget. Mobil angkot 121 yang biasanya berjejer di pinggir jalan kali ini tidak tampak satu pun. Ketika dari kejauhan muncul satu dari arah pintu Tol Cibubur, penumpang yang sudah menunggu berebut untuk naik. Untungnya ane masih dapat satu kursi walau posisi bangku tempel yang dekat pintu. Baru aja pantat duduk dan angkot mulai melaju, terdengar bunyi sirene yang terkenal itu... Seperti sudah diberi aba-aba, seluruh penumpang menengokkan kepalanya memperhatikan barisan konvoi mobil yang melaju kencang. Mobil pertama lewat, mobil kedua lewat, tapi sampai mobil ketiga tidak ada yang berpelat RI-1. Walah, siapa neh gaya banget... Ada yang nyeletuk, oh Pak Menteri bertamu.. Busyet dah, Sabtu githu lho, hari libur, masa mesti pake konvoi panjang githu.....

Nah sampai di rumah ane buka televisi. Di Indosiar waktu itu acara infotainment siang. Ndilala, salah satu beritanya adalah mengenai Anisa Pohan yang hari ini wisuda S2 di Universitas Indonesia. Perlu anda ketahui saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air, Neng, eh Mpok, eh Dik, eh Bu Anisa ini adalah mantu pertama dari Pak Beye dan Ibu Anie. Wo, kalau githu yang tadi lewat itu rombongan Mbak Anisa..? Ternyata betul saudara-saudara. Mbak Anisa itu acara wisudanya memang tidak dihadiri oleh Pak Mertua, tapi Ibu Mertua tercinta beserta suami dan anak hadir di sana. Wah, pantas aja tadi rombongan VIP, karena khan yang dikawal Ibu Negara beserta anak, mantu dan cucu tercinta...


Sekian dulu cerita rumpi ane, entar disambung lagi yah..

(Foto-foto dari berbagai sumber, courtesy google images)