Monday, July 8, 2013

MALAIKAT MAUT DI LAUTAN

Gelombang tinggi terus menghantam lambung kapal. Kapal kayu itu sudah seperti mainan anak-anak, tak berdaya menentang kerasnya hantaman ombak dari seluruh sisinya. Penumpang wanita mulai bersahut-sahutan memanggil nama Yang Maha Kuasa. Anak-anak yang lebih kecil saling kompak bergiliran muntah di setiap sudut kapal. Aku sendiri sudah tidak mampu berpikir apa-apa. Otak terasa beku, dan tubuh sudah tidak memiliki tenaganya. Mataku hanya mampu menatap ombak tinggi yang terus menerjang kapal kami dari lubang jendela yang terbuka. Dari mulutku hanya mampu keluar doa lirih, "Tolong kami Tuhan, tolong kami Tuhan...."

Ini pengalaman terhebatku menjelang hari-hari terakhir travelling mengelilingi Sulawesi. Maut terasa begitu dekat, dan hawa yang dihembuskannya begitu dingin menusuk hingga ke sumsum tulang. Tiada yang menyangka, bahkan bagi beberapa pelaut senior yang menjadi penumpang saat itu, bahwa rintik hujan dan angin kecil yang semenjak pagi mengiringi keberangkatan kapal dari pelabuhan Usuku di ujung Pulau Tomia akan berbalik menjadi badai dasyat di tengah perjalanan. Prraaakkkk, kembali gelombang tinggi menabrak tubuh kapal. Tas, kardus, bungkusan, dan segala macam barang yang tersusun di lantai kayu jatuh porak-poranda. Beberapa Ibu kembali menjerit menyebut asma Allah. Beberapa bapak mulai sibuk memakaikan baju pelampung pada anak-anaknya. Suasana kian mencekam. Malaikat maut seolah ingin memperlihatkan kekuasaannya. Hanya dengan meniup angin lebih kencang kapal kami pasti terbalik ke Laut Flores yang maha dalam.

Aku sudah memuntahkan seluruh isi perutku semenjak sejam yang lalu, pada saat kapal mulai bergoyang-goyang dicium ombak yang pelan-pelan berubah menjadi gelombang keras. Di atas matras coklat (tempat tidur karet) di dek atas sebelah kanan aku hanya bisa tergolek lemas membaringkan diri. Kepala mau pecah karena pusing. Mata terpaksa dipejamkan untuk menghalau rasa pusing dan mual. Dari otak dan hatiku hanya bisa menggaungkan doa Bapak Kami, dan memohon pertolongan Yang Di Atas. Berpuluh, bahkan mungkin ratusan doa yang sama terus kugaungkan, mungkin sudah seperti dari bawah sadarku.

Lalu, braaaakkkkk, hempasan gelombang lebih dasyat membantingkan badan kapal. Mataku langsung terbuka, namun tubuh tak mampu bangkit karena kerasnya goyangan. Kulihat air laut melompat masuk dari lobang jendela. Beberapa anak menjerit sambil menangis kencang. Ayah mereka sibuk menenangkan dengan suara lemah. Dua bapak dengan susah payah mengangkat pintu kayu untuk menutup lubang jendela. Dan pada saat itu bayangan kematian bermain di mataku. Inikah jalanNya? Inikah saatnya aku bakal bertemu dengan Penciptaku? Dengan mata batinku kubayangkan seandainya kapal ini terbalik, dari sisi jendela manakah aku akan terlempar ke dalam lautan yang sedang meraung-raung. Apakah pelampung oranye yang kupakai akan menjadi alat bagiNya untuk menolongku? Apakah aku akan mampu timbul ke permukaan air, ataukah tubuhku akan kian terseret arus dasyat yang membawaku makin dalam masuk ke tubuh laut? Bagaimanakah rasanya ketika aku sudah tidak bisa mengisap udara dan asinnya air terus masuk melalui hidung dan mulutku, apakah aku akan merasakan paru-paruku tersedak dan kemudian meledak? Ataukah aku akan jatuh pingsan seiring dengan nyawaku melayang pelan-pelan dari tubuhku? Apakah jasadku bakal ditemukan atau hilang lenyap di dasar lautan? Bagaimanakah adik-adikku, keluargaku, saudara-saudaraku dan teman-temanku akan menerima berita ini? 

Batinku terus berpikir, raga duniaku menjerit ketakutan, namun anehnya jiwaku terasa damai. Kalau memang saat inilah WAKTU bagiku, aku sudah siap Tuhan. Kuserahkan Tubuh, Jiwa dan Rohku ke dalam tangan pengasihanMU. Pengharapan inilah yang membuat jiwaku tenang. 

Hari itu adalah Minggu 30 Juni 2013 saat aku dalam perjalanan menuju Pelabuhan Murhum, Bau-bau di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara yang berjarak kuranglebih 10 jam perjalanan dengan kapal.. Kapal kayu KM Wisata Bahari mengangkut kurang lebih 100 penumpang berangkat dari Pelabuhan Usuku, Pulau Tomia, pulau ketiga terbesar di kepulauan Wakatobi pukul 08.00 WIT. Karena cuaca dan air laut yang sedang surut, kapal terpaksa berlabuh di tengah laut di dekat Pulau Lamanggau untuk menaikkan penumpang. Dengan perahu pong-pong (sejenis perahu kayu bermesin kecil) para penumpang satu persatu diangkut mendekati kapal dan dengan gagah berani melompat masuk melalui lobang jendela berukuran satu kali satu meter. Tua muda, dewasa anak-anak, pria wanita, mereka adalah para pemberani. Masyarakat yang hidup di pulau-pulau ini memang tidak memiliki alternatif angkutan selain dengan kapal yang kebanyakan merupakan kapal-kapal kayu buatan Makassar.

Pukul 10.00 WIT kapal akhirnya menaikkan jangkar dan berlayar dengan iringan hujan deras. Diperkirakan paling lambat pukul 20.00 WIT kapal akan tiba di Bau-bau. Seluruh tempat tidur karet yang tersusun di lantai kayu di dek atas dan bawah sudah ditempati pemiliknya. Sedangkan di dapur yang berada di bagian buritan (belakang kapal), beberapa ABK sibuk mempersiapkan makan siang. Puluhan kilo ikan gembung sudah dibersihkan dan menunggu giliran untuk digoreng. Sayur sop sedang menunggu mendidih, sedang nasi sudah selesai dimasak didalam panci-panci berukuran besar. Sambil menunggu waktu makan siang, sebagian penumpang membaringkan tubuh, sedang yang lain asyik mengobrol. Seorang Nenek sibuk menenangkan tangisan cucunya, sedangkan Ibu si Bayi malah asyik tertidur. Walau hujan, namun langit terlihat cerah, mentari masih memberikan sebagian sinarnya. Benar-benar perjalanan yang menyenangkan apabila cuaca bisa terus seperti ini. 

Pukul 11.30 WIT piring-piring plastik mulai disusun di sebuah meja sudut. Satu per satu menu mulai dihidangkan. Karena tadi pagi hanya makan dua potong pisang goreng, perutku sudah terasa lapar. Tanpa sungkan lagi aku menjadi 10 orang pertama yang antri menyendok nasi dan teman-temannya. Walau sederhana, namun masakan ala ABK kapal ini lumayan enak. Tak heran sebentar saja langsung ludes diserbu. Namun hidangan yang dimasak sudah dihitung porsinya sehingga tidak ada penumpang yang tidak kebagian. Good job...

Aku menikmati makan siangku sambil berdiri di bibir jendela kapal sambil menikmati lautan biru yang maha luas. Beberapa burung camar terbang berputar-putar di atas air mencari makan siangnya. Laut sedikit bergelombang, namun kapal berlayar tenang. Selesai makan aku kembali ke atas matrasku. Tak berapa lama aku mengikuti jejak penumpang lainnya: berbaring santai menikmati tidur siang. Sebentar saja aku sudah pulas tertidur.

Tidur siangku yang nikmat itu terhenti satu jam kemudian, ketika kapal mulai keras bergoyang-goyang. Aku lalu duduk terbangun dan melihat lautan yang tadinya tenang mulai terlihat menari-nari. Angin kencang menghembuskan tinggi gelombang dan mulai mendekati bawah jendela yang sengaja dibuka sebagai ventilasi ruangan. Hujan semakin deras dan langit menghitam. Kapal berayun naik turun tak berdaya. Pelan-pelan goyangan ini mengocok perutku. Aku mulai merasa pusing dan mual. Tak berapa lama aku menyerah, lalu dengan bersusah payah turun ke lantai kapal, dan dengan tertatih-tatih menuju belakang kapal. Di lobang WC kamar mandi dua pintu yang terletak di depan dapur  aku memuntahkan makan siangku. Setelah mual sedikit mereda, kembali dengan bersusah payah aku balik naik ke tempat tidur. Namun ombak kian bergelombang hebat, dan kapal makin tidak karuan goyangannya. Perut semakin dikocok-kocok. Beberapa menit kemudian, aku kembali berjuang berjalan ke kamar mandi untuk memuntahkan isi perutku. Kali ini yang keluar tinggal air berasa sedikit asam. Tubuhku sudah semakin lemas. Sebetulnya karena situasi bisa saja aku ber"hoek-hoek" melalui lobang jendela yang jaraknya lebih dekat, namun aku masih merasa perlu untuk menjaga mental penumpang lain. Malu juga kalau harus muntah diliatin puluhan mata... Sampai tiga kali aku harus berjuang bolak-balik ke belakang sebelum akhirnya menyerah dan tergolek lemas. Untuk minum air putih saja aku sudah tidak berani, takut nanti muntah lagi, apalagi untuk makan.

Semakin siang gelombang semakin menggila. Dan, badai yang sebenarnya akhirnya datang menyerang. Ditengah bunyi angin dan hempasan gelombang tinggi, gaung suara mesin kapal habis ditelan. Suaranya pelan-pelan menghilang. Ternyata mesin kapal rusak... Pada hantaman gelombang besar pertama, seluruh penumpang mulai waspada. Pada hantaman kedua, terdengar bunyi berbagai barang yang jatuh dengan suara keras. Anak-anak mulai berteriak ketakutan. Para ayah mulai mengambil pelampung yang disimpan dibeberapa celah di plafon dan memakaikannya pada anak-anaknya. Seorang Bapak bertubuh tambun berjalan dilorong dek sambil memberikan kata-kata menenangkan. Seorang pelaut senior yang tergolek di kiriku menenangkanku. Gelombang lebih besar kembali menghantam dan kapal oleng ke kiri. Si Bapak tambun tanpa berkata-kata lagi langsung memakai pelampungnya. Dan aku terdiam melongo ketakutan...





Makin sore kapal makin tak berdaya diombang-ambingkan dasyatnya ombak. Hantaman gelombang seperti tiupan malaikat elmaut. Diluar hanya gelap gulita yang terlihat. Ajaibnya, beberapa penumpang terutama yang berada di dek bawah malah tetap serius memejamkan matanya. Entah ketiduran, entah pasrah dengan nasibnya. Sungguh rasanya hidup dan mati benar-benar terserah kehendakNya. Lalu, tiba-tiba mesin kapal berhenti berputar dan mati, dan seluruh ruangan langsung gelap gulita. Inilah saat-saat yang paling menggelisahkan bagiku. Karena perasaan kematian terasa mendekat.

Tanpa bantuan kekuatan mesin untuk menerjang ombak, kapal seperti perahu kertas. Ibu-ibu mulai menangis dan berteriak berdoa. Semua orang terlihat pasrah, dan bersiap-siap menyongsong yang terburuk. Satu jam tanpa mesin, bantuan akhirnya diberikan oleh sebuah kapal kayu lain yang juga sedang menuju Bau-bau. Dengan penerangan senter, para ABK mengisi bahan bakar, dan memperbaiki mesin kapal. Lima jam terombang-ambing di tengah laut Flores akhirnya Tuhan memberikan kami kesempatan untuk hidup kembali. Mesin kapal akhirnya dapat diperbaiki, dan suara nyaringnya melegakan. Makin malam gelombang perlahan mulai mereda. Dan pada saat kami melihat lampu-lampu di daratan Bau-bau air laut sudah tenang. Pukul 11 malam kapal merapat ke Pelabuhan Murhum, dan aku bersyukur diberi 15 jam untuk mengalami pengalaman yang mungkin tidak akan kualami lagi seumur hidup.


No comments:

Post a Comment